Selasa, 16 Maret 2010

ANNATARA BHIKKHU

2. ANNATARA BHIKKHU


M
engawasi pikiran yang sukar dikendalikan ....”
Uraian dhamma ini dibabarkan Guru berkenaan dengan bhikkhu tertentu (annatarabhikkhu) ketika sedang berada di Savatthi.
Di kerajaan Kosala, ada sebuah desa yang padat penduduknya, yaitu desa Matika. Pada suatu hari 60 bhikkhu setelah menerima pokok meditasi yang meng-arah pada pencapaian kearahatan dari Guru mendatangi desa ini dan ber-pindapatta (menerima makanan dari umat). Pada waktu itu kepala desa ini bernama Matika. Ketika istri Matika melihat para bhikkhu, ia menyiapkan tempat duduk dan memberikan bubur dengan berbagai bumbu pilihan kepada mereka, lalu bertanya kepada mereka:
“ Para bhante, mau ke mana?”
“Ke beberapa tempat yang menyenangkan, maha upasika.”
Karena menyadari bahwa para bhikkhu sedang mencari tempat untuk ber-vassa (tinggal selama 3 bulan musim hujan), maka ia bernamaskara dan berkata kepada mereka:
“Bilamana para bhante akan tinggal di sini selama tiga bulan, maka saya akan menyatakan Berlindung kepada Tiratana, melaksanakan Pancasila dan Uposatha.”
Para bhikkhu menyetujui dengan berpikir, “Dengan bantuannya kita sekalian akan bebas dari kegelisahan, kekurangan makanan serta dapat terbebas dari kelahiran kembali.”
Ibu Matika memimpin pembangunan vihara untuk tempat tinggal para bhikkhu, mempersembahkannya kepada para bhikkhu, dan para bhikkhu tingal di tempat itu. Pada hari tertentu para bhikkhu mengadakan pertemuan dan sepakat bahwa
“Para bhikkhu, bukan cara kita sekalian untuk hidup tanpa kewaspadaan, karena dihadapan kita terbentang Delapan Maha Niraya (Neraka), yang bagaikan rumah kita. Sekarang kita telah datang ke tempat ini setelah menerima pokok-pokok meditasi dari Buddha yang hidup. Kebaikan para Buddha tidak dapat dimenangkan oleh seorang penipu, walaupun ia mengikuti jejak kaki para Buddha. Hanya dengan melaksanakan seperti apa yang diinginkan oleh para Buddha maka kebaikan hati mereka dapat dimenangkan. Maka waspadalah. Dua orang bhikkhu tidak boleh berdiri atau duduk di satu tempat. Di waktu sore kita sekalian akan bertemu untuk menemui Thera, dan pada pagi hari sekali kita sekalian akan bertemu pada saat bersama untuk pindapata. Sedangkan untuk wak-tu-waktu yang lain kita tidak boleh bersama walaupun hanya berduan saja. Namun, bilamana ada yang sakit, ia datang ke dhamma sala dan membunyikan lonceng. Dengan tanda membunyi-kan lonceng, kita akan datang bertemu dan menyiapkan pengobatan bagi yang bersangkutan.”
Setelah membuat kesepakatan ini, mereka memasuki kuti (tempat tinggal) masing-masing.
Pada suatu hari, ketika para bhikkhu di dalam kuti masing-masing, upasika mengambil ghee, sirup gula serta berbagai macam makanan, dan di waktu sore dengan disertai para pelayan, ia pergi ke vihara. Karena tidak melihat seorang bhikkhu pun, maka ia bertanya pada seseorang,
“Ke manakah para bhikkhu?”
“Ibu, merela pasti sedang duduk di dalam kuti mereka masing-masing.”
“Apakah yang harus saya buat agar dapat bertemu dengan mereka?”
Orang itu mengetahui kesepakatan yang dibuat oleh para bhikkhu itu berkata:
“Ibu, bila anda membunyikan lonceng maka mereka akan berkumpul.”
Maka ia membunyikan lonceng. Ketika para bhikkhu mendengar bunyi lonceng, mereka berpikir, “Ada seseorang yang sakit.” Mereka keluar dari kuti mereka, mereka berkumpul di ruangan pertemuan vihara. Tidak seorang bhikkhu pun yang datang dari arah yang sama.
Ketika upasika melihat mereka datang satu persatu, masing-masing dari kutinya sendiri, ia berpikir, “Para puteraku pasti telah bertengkar.” Demikianlah, setelah memberikan hormat kepada bhikkhu sangha, ia bertanya kepada mereka,
“Para bhikkhu, apakah para bhante bertengkar?”
“Tidak, mahaupasika.”
“Para bhikkhu, ketika mengunjungi rumah saya para bhante datang bersama-sama, sekarang para bhante tidak datang seperti itu, sebaiknya datang bersamaan, namun masing-masing datang dari kuti sendiri-sendiri.”
“ Mahaupasika, kami duduk di kuti masing-masing melaksanakan meditasi.”
“Para bhikkhu, apa yang para bhante maksudkan dengan ‘melaksanakan meditasi’?”
“Kami sedang merenung tentang 32 bagian dari tubuh, dengan begitu kami mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh.”
“Para bhikkhu, apakah hanya anda sekalian yang diizinkan untuk merenung tentang 32 bagian dari tubuh, dan dengan begitu mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh; atau kami juga diizinkan untuk melakukannya?”
“Tidak ada larangan kepada siapa pun untuk melaksanakan meditasi ini, mahaupasika.”
“Baiklah bila demikian, ajarkan padaku juga tentang 32 bagian dari tubuh, dan tunjukkan bagaimana saya mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh.”
“Mahaupasika, baiklah,” jawab para bhikkhu, “pelajarilah hal-hal itu.”
Setelah berkata demikian, mereka mengajarkannya. Mahaupasika segera merenung 32 bagian dari tubuh, di tempat itu pula ia berusaha mendapatkan pengertian jelas mengenai kelapukan dan kematian yang merupakan sifat alamiah tubuh. Begitu suksesnya ia, sehingga ia dapat melampaui kemajuan para bhikkhu, ia mencapai Anagami Magga dan Phala, serta memiliki Empat Patisambhida dan Abhinna (kekuatan batin).
Bangun dari kenikmatan Magga dan Phala, ia melihat dengan Dibba Cakkhu (Kekuatan Mata Dewa) –nya dan berpikir, “Kapan para puteraku mencapai tingkat ini?” Segera ia menyadari bahwa, “Semua bhikkhu ini masih terbelenggu oleh lobha (keserakahan), dosa (ketidaksenangan) dan moha (kebodohan). Mereka belum mengarah pada Pandangan Terang karena melaksanakan Meditasi Ketenangan Batin.” Selanjutnya ia merenung, ”Apakah para putraku memiliki persyaratan yang dibutuhkan untuk mencapai ke-Arahatan atau tidak?” “Ia mengetahui, “Mereka memilikinya.” “Kemudian ia merenung, “Apakah mereka mendapatkan tempat tinggal yang pantas atau tidak?” Segera ia mengetahui bahwa mereka mendapat hal itu. Ia merenung pula, “Apakah mereka memiliki kawan yang cocok atau tidak?” Segera ia mengetahui bahwa mereka memiliki kawan itu. Akhirnya ia merenungkan, “Apakah mereka mendapat makanan yang pantas atau tidak?” Ia mengetahui, “Mereka mendapat makanan yang kurang pantas.”
Sejak hari itu ia memberikan berbagai macam bubur dan berbagai macam makanan keras dan lembut yang disertai berbagai macam bumbu untuk mereka. Ia (mengundang para bhikkhu ke rumahnya) memper-silahkan mereka duduk, ia memberikan Air Dana dan makanan kepada mereka, dengan berkata:
“Para bhikkhu, ambil dan makanlah sesukanya.”
Sebagai akibat menerima dan memakan makanan yang pantas, pikiran mereka menjadi tenang; dan akibat pikiran yang tenang, mereka mengembangkan vipassana (meditasi pandangan terang) dan mencapai ke-Arahatan serta memiliki patisambhida. Kemudian pikiran ini muncul pada mereka, “Mahaupasika, sungguh menjadi penyokong kami. Bilamana kita tidak menerima makanan yang pantas, kita tidak akan pernah mencapai Magga dan Phala. Segera setelah kita menyelesaikan waktu untuk tinggal di sini dan pada akhir masa vassa, kita segera pergi menemui Guru.”
Demikianlah mereka berpamitan kepada mahaupasika, dengan berkata,
“Upasika, kami ingin menemui Guru.”
“Baiklah, para ariya bhante,” jawabnya.
Ia mengantar mereka sampai pada jarak tertentu, lalu berkata:
“Para bhante, kunjungilah kami lagi,” dan banyak kata baik lainnya, sesudah itu ia pulang.
Ketika para bhikkhu tiba di Savatthi, mereka bernamaskara kepada Guru dan duduk pada tempat yang tersedia. Guru berkata kepada para bhikkhu,
“Anda sekalian nyatanya dalam keadaan baik, banyak yang dimakan, dan tanpa gangguan kekurangan makanan.”
Para bhikkhu menjawab:
“Bhante, kami memang dalam keadaan baik dan banyak makanan dan tanpa ada gangguan ke-kurangan makanan. Karena upasika bernama Matikamata yang mengetahui apa yang kami pikirkan, sesegera ketika kami berpikir, ‘Oh, begitulah ia menyiapkan makanan ini dan itu untuk kami!’, ia menyediakan makanan yang kami pikirkan dan memberikannya kepada kami.”
Dengan demikian mereka menyampaikan pujian tentang upasika.
Seorang bhikkhu tertentu mendengar para bhikkhu memuji kebajikan donatur mereka, berkeingian untuk pergi ke sana. Begitulah, setelah menerima pokok meditasi dari Guru, ia berpamitan dengan Guru, dengan berkata,
“Bhante, saya berkeinginan pergi ke desa itu.”
Ia meninggalkan Jetavana, selanjutnya ia tiba di desa itu dan masuk ke vihara. Pada hari ia memasuki vihara ia berpikir, “Saya mendengar berita bahwa upasika ini mengetahui setiap pikiran yang muncul pada orang lain. Sekarang saya lelah karena perjalanan dan tidak dapat menyapu vihara. Andaikan ia menyuruh seseorang untuk menyiapkan vihara bagiku!”. Upasika yang sedang duduk dan merenung di rumahnya, menyadari akan hal itu dan menyuruh seseorang ke sana, dengan berkata kepadanya,
“Pergi siapkan vihara dan persilahkan bhikkhu itu.”
Orang itu pergi dan membersihkan vihara dan mempersilahkan bhikkhu itu. Kemudian bhikkhu itu ingin untuk minum dengan berpikir, “Semoga upasika mengirimkan air manis!”. Segera upasika mengirimkan itu. Pada pagi sekali keesokan harinya, bhikkhu berpikir, “Semoga upasika mengirimkan bubur dengan mentega yang banyak bersama macam-macam bumbu pilihan”.
Segera upasika melakukannya. Setelah ia meng-habiskan bubur, ia berpikir, “Semoga ia mengirimkan padaku makanan keras seperti ini dan itu.” Upasika segera mengirimkannya kepadanya. Kemudian bhikkhu itu berpikir, “Upasika ini telah mengirimkan kepadaku setiap hal yang saya pikirkan. Saya ingin bertemu dengannya. Semoga ia datang sendiri ke mari, dengan membawa makanan lembut yang dibumbui dengan bermacam-macam bumbu pilihan!”
Upasika berpikir, “Anakku ingin bertemu dengan ku, menginginkan aku pergi menemuinya.” Maka ia menyiapkan makanan lembut, ia pergi ke vihara dan memberikan makanan itu kepada bhikkhu. Setelah bhikkhu selesai makan, ia bertanya kepada upasika,
“Upasika, nama anda Matikamata?”
“Ya, anakku.”
“Apakah anda mengetahui pikiran orang lain?”
“Mengapa anda bertanya padaku, anakku?”
“Anda telah melakukan untukku setiap hal yang saya pikirkan; itulah sebabnya saya bertanya padamu.”
”Banyak bhikkhu yang (mempunyai kemampuan untuk) mengetahui pikiran orang-orang lain, anakku.”
“Saya tidak menanyakan orang lain, saya bertanya kepada anda, upasika.” Walaupun dalam keadaan seperti ini, upasika mengelak untuk berkata, “Saya mengetahui pikiran orang lain, namun sebaliknya menjawab, “Mereka yang tidak mengetahui pikiran orang-orang lain bersikap seperti ini, anakku.”
Karena itu bhikkhu berpikir: “Saya dalam posisi yang sangat memalukan. Mereka yang belum memiliki kemampuan itu menghibur dirinya dengan pikiran yang baik dan pikiran tidak baik. Begitu pula dengan saya yang menghibur diri dengan sebuah pikiran jahat, upasika dengan tanpa ragu-ragu akan menangkap kepala dan seluruh tubuh, bagaikan ia akan menangkap pencuri, dan mencelakakan saya. Bila demikian, sebaiknya saya meninggalkan tempat ini.” Maka ia berkata kepada upasika,
“Upasika, saya akan pergi.”
“Mau pergi kemana, bhante?”
“Menemui Guru, upasika.”
“Tinggallah di sini sebentar, bhante.”
“Saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi di sini, upasika. Saya harus pergi.”
Setelah mengucapkan kata-kata ini, ia berangkat dan pergi menemui Guru.
Guru bertanya kepada bhikkhu itu,
“Bhikkhu apakah anda tidak tinggal di sana lagi?”
“Tidak, Bhante, saya tidak dapat tinggal di sana lagi.”
“Apa alasannya, bhikkhu.”
“Bhante, upasika mengetahui setiap pikiranku yang muncul. Maka saya berpikir, ‘Mereka yang belum memiliki kemampuan itu menghibur dirinya dengan pikiran baik dan pikiran tidak baik. Begitu pula saya yang menghibur diri dengan sebuah pikiran jahat, upasika dengan tanpa ragu-ragu akan menangkap kepala dan seluruh tubuh, bagaikan ia akan menangkap pencuri, dan mencelakakan saya.’ Itulah sebabnya saya kembali ke sini.”
“Bhikkhu, itulah tempat yang cocok untuk anda tinggal.”
“Bhante, saya tidak bisa, saya tidak dapat tinggal lagi di sana.”
“Bhikkhu, baiklah, dapatkah anda menjaga satu hal?”
“Bhante, apa yang anda maksudkan?”
“Jagalah pikiranmu sendiri, karena pikiran sulit sekali dijaga. Kendalikan pikiranmu sendiri. Jangan pedulikan hal yang lain, karena pikiran mudah berubah.”
Setelah mengatakan hal itu, beliau mengucapkan syair berikut:

35. “Mengawasi pikiran yang sukar dikendalikan, binal dan mengembara sesuka hati adalah baik. Pikiran yang telah dijinakkan akan membawa kebahagiaan.”

Setelah Guru menasehati bhikkhu itu, Beliau menyuruhnya pergi, dengan berkata:
“Bhikkhu, pergilah, perhatikan dirimu dan jangan pedulikan yang lain. Kembali tinggal di tempat yang sama.”
Bhikkhu itu setelah dinasehati oleh Guru, pergi ke tempat yang sama dan tidak memperhatikan yang lain selain pikirannya sendiri. Maha upasika melihat dengan Dibba Cakkhu (mata dewa). Melihat bhikkhu itu, ia merenung dengan pengetahuannya tentang hal berikut, “Sekarang ini, puteraku telah mendapatkan Guru yang memberi nasehat dan ia telah kembali ke mari.” Selanjutnya ia menyiapkan makanan yang sesuai dan memberikannya kepada bhikkhu itu. Setelah mendapat makanan yang sesuai, maka hanya dalam beberapa hari bhikkhu Thera mencapai ke-Arahat-an.
Selagi Thera menghabiskan harinya menikmati kegiuran Magga dan Phala, ia berpikir, “Maha upasika merupakan penolong bagiku. Dengan bantuannya saya telah mendapat pembebasan dari lingkaran kehidupan.” Lalu ia merenung, “Apakah ia (upasika) telah menolongku hanya pada kehidupan sekarang, atau apakah ia telah menjadi penolongku pada kehidupan-kehidupan lain juga, karena saya telah hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dalam lingkaran kehidupan?”
Dengan pikiran ini yang ada padanya, ia mengingat 99 kehidupan yang lampau. Pada waktu 99 kehidupan yang lampau, upasika adalah istrinya, namun cinta istrinyanya adalah pada pria lain, dan istrinya menyebabkan ia dibunuh. Ketika, Thera mengetahui tim-bunan karma buruk yang telah buat istrinya, Thera ber-pikir, “Wah, betapa buruknya perbuatan yang telah di-lakukan oleh upasika ini.”
Maha upasika yang sedang duduk di rumahnya, merenungkan pikiran berikut, “Apakah puteraku telah mencapai tujuan dari kehidupan religius?” Mengetahui bahwa ia telah menjadi arahat, upasika melanjutkan pere-nungannya sebagai berikut, “Ketika anakku mencapai ke-Arahat-an, ia berpikir, ‘Maha upasika merupakan penolong-ku.”
Lalu ia merenung, “Apakah ia (upasika) telah me-nolongku hanya pada kehidupan sekarang, atau apakah ia telah menjadi penolongku pada kehidupan-kehidupan lain juga, karena saya telah hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dalam lingkaran kehidupan?” Dengan pikiran ini yang ada padanya, ia mengingat 99 kehidupan yang lampau. Pada waktu 99 kehidupan yang lampau, saya adalah istrinya, namun saya bekerjasama dengan pria lain, dan menyebabkan ia dibunuh. Ketika, Thera mengetahui timbunan karma buruk yang telah saya buat, Thera berpikir, “Wah, betapa buruknya perbuatan yang telah dilakukan oleh upasika ini!’ Apakah mungkin bahwa saya yang telah hidup dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dalam lingkaran kehidupan ini, telah memberinya bantuan?”
Setelah merenungkan lebih lanjut tentang hal ini, upasika dapat mengingat 100 kehidupan yang lampau dan menyadari hal berikut ini, “Pada 100 kehidupan yang lampau saya adalah istrinya. Pada suatu waktu, ketika saya mendapat kesempatan membunuhnya, malahan saya menyelamatkan hidupnya. Sesungguhnya saya telah memberikan bantuan besar kepada anakku.”
Selagi tetap duduk di rumahnya upasika berkata:
“Perhatikan lebih lanjut, dan pertimbangkan hal itu.”
Dengan kekuatan Dibba Sota (telinga dewa), bhikkhu itu segera mendengar apa yang dikatakan oleh upasika. Ia memperhatikan lebih lanjut, dan ia mengingat 100 kehidupan yang lampau di mana upasika menyelamat-kan kehidupannya. Dengan diliputi kegembiraan, ia berpikir, “Upasika ini sungguh-sungguh telah menolong saya.” Di situ, di tempat itu, dengan merenung hal yang berkaitan dengan Magga dan Phala, ia parinibbana tanpa ada hal yang tersisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar