Selasa, 16 Maret 2010

VISAKKHAYA-VATTHU

7. VISAKKHAYA-VATTHU
(Perkawinan Visakha)



“D
ari kumpulan bunga dapat dirangkai banyak ....”
Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Pubbarama dekat kota Savatthi berkenaan dengan upasika Visakha.
Disebutkan bahwa Visakha lahir di kota Bhaddiya dalam kerajaan Anga. Ayahnya adalah hartawan Dhananjaya, putra dari hartawan Mendako, ibunya adalah Sumana Devi yang merupakan istri utama. Ketika Visakha berusia 7 tahun, Guru mengetahui bahwa Brahmana Sela dan kerabatnya yang lain telah memiliki keyakinan yang merupakan faktor untuk mencapai Sotapanna, maka beliau berangkat bersama sejumlah besar bhikkhu dan tiba di kota itu.
Pada waktu itu hartawan Mendako menjabat sebagai bendahara kota, ia salah satu dari 5 orang yang memiliki jasa (pahala) besar (mahapunna).
(Lima orang yang memiliki mahapunna adalah Hartawan Mendako, Candapaduma, istrinya; putra sulungnya Dhananjaya dan istrinya Samanadevi, dan budak hartawan Mendako yang bernama Punna. Pada masa itu Hartawan Mendako memiliki harta yang tak terhitung, tetapi bukan hanya dia seorang yang memiliki harta tak terhitung. Di kerajaan yang dikuasai oleh Raja Bimbisara ada lima orang yang sangat kaya, yaitu: Jotiyo, Jatilo, Mendako, Punnako dan Kakavaliyo).
Hartawan Mendako mengetahui bahwa Pemilik Dasabala telah datang di kota, maka ia menyuruh (cucunya) Visakha, putri hartawan Dhananjaya, dengan berkata:
“Cucuku, ini adalah hari yang berbahagia untukku dan untukmu. Ajak 500 gadis pendampingmu (dayang-dayang), naik 500 kereta, dan bersama 500 budak wanitamu, pergi temui pemilik Dasabala.”
“Baiklah,” jawab Visakha mengiakan.
Inilah yang ia lakukan. Karena ia telah mengetahui dengan baik apa yang masuk akal dan yang tidak masuk akal, maka ia pergi dengan berkereta sejauh yang dapat dilalui kereta; lalu ia turun dari keretanya dan berjalan menemui Guru, memberikan hormat kepada Guru dan berdiri di samping.
Senang melihat prilakunya, Guru menguraikan Dhamma kepadanya, dan pada akhir dari uraian dhamma Visakha bersama 500 gadis dayang-dayang menjadi Sotapanna.
Hartawan Mendako juga menemui Guru, mendengar dhamma dan menjadi Sotapanna. Karena itu, Hartawan mendako mengundang Guru sebagai tamunya besok.
Demikianlah pada keesokkannya di rumahnya ia melayani dengan baik Bhikkhu Sangha yang dipimpin Sang Buddha, memberikan pada mereka makanan terpilih, yang keras dan lembut, begitu pula ia melakukan hal yang sama pada hari uposatha dengan memberikan berbagai macam makanan.
Setelah Guru berada di kota Bhaddiya selama waktu yang dibutuhkan, beliau pergi.
Pada waktu itu Raja Bimbisara dan Raja Pasenadi Kosala berkerabat karena hubungan perkawinan, masing-masing mengawini saudara perempuan satu dengan yang lain. Pada suatu hari Raja Kosala berpikir: “Dalam kerajaan (Magadha) Bimbisara ada lima orang yang memiliki kekayaan tak terhitung banyaknya, namun dalam kerajaanku tidak ada seorang pun seperti mereka. Sebaiknya saya mengunjungi Bimbisara dan meminta salah seorang dari para hartawan itu.”
Selanjutnya ia pergi menemui Raja bimbisara, yang menyambutnya dengan sikap bersahabat dan bertanya kepadanya:
“Apa maksud kedatangan anda?”
“Saya datang ke mari dengan pikiran, ‘Dalam kerajaanmu ada 5 hartawan yang memiliki kekayaan tak terhitung banyaknya dan ada lima orang yang memiliki mahapunna. Saya mengingin-kan satu orang dari mereka pulang bersama saya.’”
“Mereka ini adalah keluarga yang penting, tidak mungkin memindahkan mereka.”
“Saya tidak akan kembali tanpa satu keluarga itu.”
Raja mengadakan konsultasi dengan para menteri-nya dan menjawab:
“Memindahkan para keluarga penting seperti Jotiyo bagaikan memindahkan bumi itu sendiri. Tetapi ada seorang hartawan bernama Dhananjaya, putra hartawan Mendako. Saya akab berbicara dengan dia dan akan memberikan jawabanku nanti.”
Selanjutnya Raja Bimbisara menyuruh seseorang untuk memanggil hartawan Dhananjaya menghadapnya, dan berkata:
“Kawanku, Raja Kosala telah berkata padaku, ‘Saya ingin seorang hartawan yang memiliki kekayaan besar kembali dengan saya.’ Anda pergilah dengan dia.”
“Maharaja, jika raja menyuruh saya, saya akan pergi.”
“Baiklah sahabatku, bersiaplah dan pergi.”
Demikianlah maka hartawan Dhananjaya menyiap-kan persiapan yang diperlukan, dan raja menganugerah-kannya kehormatan kepadanya dan mempersilahkan Raja Pasenadi berangkat, dengan berkata:
“Bawalah dia bersamamu.”
Maka Raja Pasenadi mengajaknya pergi dan berangkat ke Savatthi, dengan berhenti semalam dalam perjalanan. Dalam perjalan, mereka tiba di sebuah tempat yang menyenangkan, mereka mendirikan kemah untuk bermalam. Hartawan Dhananjaya bertanya kepada raja:
“Termasuk kerajaan siapa daerah ini?”
“Hartawan, ini termasuk kerajaan saya.”
“Berapa jauh dari sini ke Savatthi?”
“Tujuh yojana.”
“Di dalam kota sangat padat, sedangkan para pengikut saya sangat banyak. Bilamana Maharaja menyetujui, saya akan tinggal di tempat ini.”
“Baiklah,” jawab raja,mengabulkan permintaannya.
Selanjutnya raja membuat kota untuk hartawan Dhananjaya di tempat itu dan memberikan kepadanya, dan setelah melakukan hal itu, raja berangkat. Karena daerah ini mulai di diami pada waktu sore (sayam) maka kota ini dinamakan Saketa.


Pada masa itu di Savatthi ada seorang hartawan bernama Migara, ia mempunyai seorang putra bernama Punnavaddhana, yang baru mencapai kedewasaan. Ayah dan ibunya berkata kepadanya:
“Anak sayang, pilihlah seorang istri untukmu dari mana saja yang ananda sukai.”
“Saya tidak membutuhkan hal seperti itu.”
“Nak, jangan bersikap seperti itu. Sebuah keluarga tanpa anak tidak akan bertahan.”
Setelah mereka mengatakan hal itu beberapa kali. Ia berkata:
“Baiklah. Jika saya mendapatkan seorang gadis yang memiliki Lima Kecantikan, saya akan melakukan seperti ayah dan ibu katakan.”
“Tetapi apakah kelima kecantikan ini, ‘nak.”
“Kecantikan rambut, kecantikan daging, kecantikan tulang, kecantikan kulit, dan kecantikan keremajaan.”
(Bagi wanita yang memiliki mahapunna memiliki rambut seperti ekor merak, bilamana rambut itu dilepas bebas, rambut itu akan menyentuh depan (hem) roknya, dan ujung rambut melengkung ke atas; Inilah Kecantikan Rambut. Bibirnya berwarna seperti merah cerah labu, bibir atas dan bawah sama dan lebut bila disentuh; Inilah Kecantikan Daging. Giginya putih, rata, tanpa celah dan bercahaya bagaikan untaian mutiara yang dijajarkan atau seperti kulit kerang yang dipotong dengan rapi; Inilah Kecantikan Tulang. Kulitnya tanpa menggunakan cendana, pemerah (pipi, kulit), atau kosmetik lainnya, adalah licin bagaikan bunga teratai dan putih bagaikan untaian bunga kanikara; Inilah Kecantikan Kulit. Walaupun ia melahirkan 10 kali, penampilan keremajaan tubuhnya bagaikan ia baru melahirkan sekali. Inilah Kecantikan Keremajaan)
Untuk itu ibu dan ayah Punnavaddhana meng-undang 108 Brahmana kerumah mereka, melayani mereka makan malam, kemudian bertanya pada mereka:
“Apakah ada wanita yang memiliki Lima Kecantikan?”
“Ya, ada.”
“Baiklah, delapan orang dari anda sekalian pergi cari gadis seperti itu,”
Ibu dan ayah Punnavaddhana menugaskan mereka dan memberikan banyak uang kepada 8 Brahmana itu.
“Ketika anda sekalian kembali, kami tahu apa yang harus kami lakukan. Carilah gadis itu, dan bilamana telah ditemukan, dandani dia dengan untaian bunga (lei) ini.”
Setelah berkata demikian mereka memberikan kepada para Brahmana seuntai bunga emas yang berharga 100.000 kahapana (keping emas, kalau sekarang uang koin emas) dan menyuruh mereka pergi.
Para Brahmana pergi ke semua kota besar dan mencari dengan rajin, namun mereka tidak menemukan seorang gadis yang memiliki Lima Kecantikan, maka mereka berbalik pulang. Ketika mereka tiba di kota Saketa, pada Hari Libur Umum (Vivatanakkhattadivase) dan mereka berpikir: “Hari ini tugas kita akan mencapai puncak kesuksesan.”
Pada masa itu di kota ada festival yang dirayakan setiap tahun pada Hari Libur Umum, pada hari ini para keluarga yang biasanya tidak keluar mereka keluar rumah bersama para pembantu mereka yang tidak mengenakan baju (atas), berjalan-jalan di tepi sungai. Lagi pula, para putra orang-orang kaya atau ksatriya berdiri di sepanjang jalan, dan bilamana mereka melihat seorang gadis cantik yang sepadan dengan mereka, mereka melemparkan kutuman bunga ke kepala gadis itu.
Para Brahmana juga pergi ke tepi sungai, me-masuki gedung tertentu dan menunggu. Pada saat itu Visakha, yang pada waktu itu telah berusia 15 atau 16 tahun, merias dirinya dengan semua perhiasannya, disertai 500 dayangnya, datang ke tepi sungai dengan maksud untuk mandi. Tiba-tiba terjadi angin badai dan mulai hujan. Akibatnya 500 dayangnya lari secepat mungkin dan masuk dalam gedung. Namun walaupun hujan, Visakha berjalan seperti biasa saja. Ketika ia masuk ke dalam gedung, pakaian dan perhiasannya basah.
Para Brahmana melihat bahwa Visakha memiliki empat Kecantikan. Karena ingin melihat giginya, mereka mulai bercakap-cakap dengan berkata:
“Putri kita memiliki sifat malas. Suaminya tidak akan mendapat nasi asam yang cukup untuk dimakan, atau apakah kita yang salah!”
Kemudian Visakha berkata kepada para Brahmana:
“Apa yang anda katakan?”
“Kami sedang membicarakan tentang kamu, gadis manis.”
(Mereka mengatakan bahwa suara Visakha lembut dan resonansinya bagaikan alunan lonceng).
Selanjutnya dengan suaranya lembutnya, suara beresonansi, ia bertanya lagi kepada mereka:
“Apakah yang anda sekalian bicarakan?”
“Kami membicarakan bahwa sementara para gadis dayangmu berlari secepat mungkin dan masuk ke dalam gedung agar pakaian dan perhiasan mereka tidak basah, anda sama sekali tidak mempercepat langkahmu, walaupun sesungguhnya jaraknya hanya pendek, dan akibatnya ketika masuk ke dalam gedung pakaian dan perhiasanmu basah.”
“Kawan-kawan, jangan berkata begitu. Saya lebih kuat daripada mereka. Lagi pula saya punya alasan kuat untuk tidak mempercepat langkahku.”
“Apa alasannya, nak?”
“Kawan-kawan, ada 4 pribadi yang nampaknya tidak menguntungkan bila berlari; dan ada alasan lain pula.”
“Gadis manis, empat pribadi bagaimana yang tidak menguntungkan bila berlari?”
“Kawan-kawan, seorang yang telah dinotbatkan jadi raja tidak menguntungkan bila ia didandani dengan semua permata, ia mengangkat baju bawahnya dan berlari-lari di istana. Dengan melakukan hal itu ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan, dan orang-orang akan berkata: ‘Mengapa Maharaja berlari-lari bagaikan orang biasa?’ Begitu pula gajah kerajaan milik raja, bilamana telah dididandani dengan pakaian berhiasan, nampaknya tidak akan menguntungkan bila berlari; namun bilaman gajah itu melangkah dengan keagunan gajah, maka akan nampak menguntungkan. Seorang bhikkhu tidak akan nampak menguntungkan bila berlari. Dengan berbuat seperti itu ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan, dan orang-orang akan berkata tentang dia: ‘Mengapa bhikkhu ini berlari-lari seperti umat awam?’ Namun apabila ia berjalan dengan tenang, nampaknya akan menguntungkan baginya. Seorang wanita nampaknya tidak menguntungkan baginya apabila ia berlari. Ia akan mendapat kritikan yang tidak menyenangkan karena melakukanya. Orang-orang akan berkata kepadanya: ‘Mengapa wanita ini berlari-lari seperti laki-laki?’ Inilah empat pribadi yang nampaknya tidak menguntungkan bila berlari.”
“Tetapi apa alasan lainnya, gadis manis?”
“Kawan-kawan, para ibu dan ayah membesarkan seorang anak perempuan dengan pikiran untuk menjaga anggota-anggota badan maupun bagian tubuh lainnya tidak terluka. Karena kami bagaikan barang yang akan dijual, maka mereka membesar-kan kami dengan maksud mengawinkan kami kepada keluarga lain. Akibatnya, bilamana kami berlari dapat menyebabkan kain pakaian kami robek atau tersandung pada tanah sehingga kami jatuh dan mematahkan tangan atau kaki, kami menjadi beban keluarga kami. Tetapi bilamana hanya pakaian yang kami kenakan menjadi basah, itu akan kering nanti. Dengan mempertimbangkan hal ini, maka saya tidak berlari, kawan-kawan.”
Sementara Visakha berbicara, para Brahmana memperhatikan keindahan giginya. “Gigi yang indah seperti ini belum pernah kami lihat,” kata mereka. Dengan bertepuk tangan memujinya, mereka berkata:
“Gadis manis, hanya anda yang pantas menerima ini.”
Setelah berkata begitu, mereka melempar untai bunga emas ke kepala Visakha. Lalu Visakha bertanya kepada mereka:
“Kawan-kawan, dari kota mana anda sekalian datang?”
“Kami dari Savatthi, gadis manis.”
“Siapakah hartawan anda wakili?”
“Hartawan yang bernama Migara, gadis manis.”
“Apakah nama putranya yang terhormat?”
“Punnavaddhana Kumara, gadis manis.”
“Keluarga yang sepadan dengan keluarga kami,”
pikir Visakha.
Demikianlah ia menerima usulan dan segera ia mengirm berita kepada ayahnya: “Mohon kirimkan kereta.” Walaupun ia datang ke situ dengan berjalan, namun sejak saat untaian bunga dilemparkan ke kepala-nya, maka tidak pantas lagi bagi dia untuk berjalan kaki. Putri orang-orang terhormat bepergian dengan kereta atau dengan sejenisnya, walaupun yang lain menaiki kereta biasa, menggunakan payung atau daun palem untuk melindungi kepala; namun bilamana barang-barang ini tidak dipunyai, maka dengan mengangkat baju bawah dan menempatkannya di bahu.
Sementara itu ayah Visakha telah mengirim 500 kereta, ia menaiki keretanya, berangkat bersama dayang-dayangnya, sedangkan para Brahmana mengikutinya. Hartawan bertanya kepada para Brahmana:
“Dari mana anda sekalian datang?”
“Dari Savatthi, maha hartawan.”
“Siapakah nama hartawan-nya?”
“Hartawannya bernama Migara.”
“Apakah nama puranya.”
“Punnavaddhana Kumara.”
“Berapa banyak kekayaannya.”
“Empat puluh koti.”
“Sehubungan dengan kekayaannya sangat jauh dibandingkan dengan kami; namun sejak seseseorang mendapatkan pelindung untuk putrinya, mengapa mempersoalkannya?”
Setelah berkata begitu, hartawan memberikan persetujuannya. Setelah ia menyenangkan mereka selama dua hari di rumahnya, dengan memberikan semua perhatian yang perlu bagi mereka, ia mempersilahkan mereka untuk pulang.
Para Brahmana pulang ke Savatthi dan melaporkan kepada hartawan Migara:
“Kami telah menemukan seorang gadis.”
“Putri siapa dia?”
“Putri Hartawan Dhananjaya.”
Hartawan Migara berpikir: “Saya telah mendapat putri dari keluarga terhormat, sebaiknya saya membawanya kemari secepat mungkin.”
Maka ia melaporkan kepada raja bahwa ia akan pergi kesana. Raja berpikir: “Itulah keluarga istimewa yang saya ambil dari Raja Bimbisara dan tinggal di Saketa. Saya akan memperlihatkan padanya segala perhatian.” Maka ia berkata:
“Saya akan pergi juga.”
“Baiklah, raja,” jawan Hartawan Migara.
Sehubungan dengan hal itu, Hartawan Migara mengirim berita kepada Hartawan Dhananjaya: “Bilamana saya datang, raja akan bersama saya, dan pasukan raja sangat besar. Apakah anda akan mampu melayani kelompok orang yang besar atau tidak.”
Hartawan Dhananjaya menjawab sebagai berikut: “Bilamana ada sepuluh orang raja akan datang, silahkan mereka datang!”
Selanjutnya Hartawan Migara semua penduduk dari kotanya kecuali sejumlah orang yang perlu menjaga rumah-rumah, berangkat dan berhenti pada jarak setengah yojana dari Saketa, lau mengirim berita kepada Hartawan Dhananjaya:
“Kami telah tiba.”
Untuk itu Hartawan Dhananjaya mengirim sebuah hadiah yang bagus kepada Hartawan Migara, dan ia berkonsultasi dengan putrinya:
“Putriku sayang, saya diberitahu bahwa ayah mertuamu telah tiba, Raja Kosala bersamanya.”
“Bangunan apa yang kita siapkan untuk dia, dan mana untuk raja, dan mana untuk para pesertanya?”
(Putri hartawan memiliki kebijaksanaan, dan pikirannya sangat tajam bagaikan ujung berlian, ini sebagai hasil dari Tekad yang ia telah lakukan dan keinginan teguh yang telah ia munculkan selama 100.000 kappa).
Maka Visakha menyiapkan persiapan-persiapan, dengan berkata:
“Siapkan bangunan ini dan itu untuk ayah mertuaku, ini dan itu untuk raja, dan bangunan ini dan itu untuk para pesertanya.”
Ia menyuruh para budak dan pembantu berkumpul dan ia membagi mereka dalam kelompok untuk melaksanakan berberapa tugas dengan berkata:
“Sejumlah orang sesuai kelompok melayani mertua, raja dan para peserta; juga sekelompok besar untuk melayani gajah-gajah, kuda-kuda, binatang-binatang lainnya serta hal-hal ber-hubungan dengan tugas-tugas itu. Sehingga bilamana tamu kita tiba, mereka menikmati dengan seksama acara pesta ini.
(Mengapa Visakha melakukan hal ini? Karena dengan begini, tidak ada yang akan berkata: “Kami datang untuk mengikuti acara pesta perkawinan Visakha, namun kami tidak menikmatinya; sebaliknya kami hanya menghabiskan waktu mengurus binatang-binatang dan hal lain-lain saja.”)
Pada hari itu juga, ayah Visakha memanggil 500 orang tukang emas, dan berkata kepada mereka:
“Buatkan sebuah ‘mantel besar penuh hiasan permata’ (mahalatapasadhanam = baju atau gaun kawin dalam bentuk mantel penuh bertaburan perhiasan).”
Setelah berkata begitu, ia memberi seribu nikkha emas merah, sejumlah perak, batu delima, mutiara, batu-batu permata, dan intan.
Setelah raja berada di sana beberapa hari, ia mengirm berita kepada Hartawan Dhananjaya:
“Hartawan tidak harus berpikir untuk menyiapkan semua kebutuhan bagi kami untuk waktu yang lama. Beritahukan kepada kami bilamana putrinya telah siap untuk berangkat.”
Hartawan membalas dengan menjawab kepada raja sebagai berikut:
“Musim hujan telah tiba, maka tidak mungkin bagi raja untuk bergerak selama 4 bulan. Apapun yang dibutuhkan oleh pasukan raja, semuanya merupa-kan tugas saya untuk menyiapkannya. Raja sebaiknya berangkat bilamana saya telah siap.”
Pada waktu itu bagaikan hari libur panjang di kota Saketa. Dari raja hingga rakyat jelata, semua berdandan bebungaan, wangi-wangian serta pakain bagus, dan masing-masing berpikir: “Raja hanya memberikan perhatiannya kepada saya.” Tiga bulan telah berlalu dalam keadaan seperti itu, namun mantel belum selesai.
Kepala kelompok tugas kerja menemui dan melapor kepada hartawan:
“Tidak ada yang kurang selain kayu bakar untuk memasak makanan bagi pasukan.”
“Kawan-kawan, pergi bongkar semua kandang gajah yang rusak dan semua rumah di kota ini yang telah lapuk, gunakan kayu-kayunya untuk masak.”
Mereka memasak makanan menggunakan kayu bakar selama 2 minggu, lalu kembali dan melapor:
“Tidak ada lagi kayu bakar.”
“Pada waktu di masa seperti ini adalah tidak mungkin untuk mendapat kayu bakar, maka bukalah gudang tempat menyimpan kain-kain, ambillah kain-kain kasar, buatlah itu sebagai sumbu, rendamlah sumbu-sumbu itu dalam bejana minyak dan masaklah makanan.”
Mereka melakukannya untuk 2 minggu.
Demikianlah 4 bulan telah berlalu, mantel telah selesai. Dalam pembuatan mantel, sebanyak 2,2024 liter berlian yang digunakan, sebanyak 6,0566 liter mutiara, 12,1132 liter batu-batu permata, 18, 1698 liter batu delima; dengan permata-permata ini dan permata-permata lainnya untuk menyelesaikan mantel. Benang biasa tidak digunakan untuk membuat mantel ini; penggunaan benang semuanya diganti dengan perak. Mantel itu di perketat di kepala dan agak lebar di bagian kaki. Di berbagai bagian ada lak (perekat) emas yang diperkuat oleh perak agar tidak lepas dari tempatnya. Ada lak besar pada mahkota di kepala, satu lak di atas setiap telinga, satu di leher (depan), satu pada setiap lutut, satu pada setiap siku, satu di pinggang dan satu yang agak kecil di punggung.
Dalam pembuatan mantel ini para tukang emas membuatnya seperti seekor burung Merak; pada bagian sayap kanan terdapat 500 bulu yang terbuat dari emas merah, begitu pula dengan sayap kiri. Paruhnya terbuat dari batu coral, matanya adalah batu permata, begitu pula dengan bagian leher dan bulu-bulu ekornya; tangkai bulu terbuat dari batu-batu permata, dan begitu pula bagian kaki-kakinya. Ketika mantel itu dikenakan oleh Visakha, mantel itu nampaknya bagaikan burung merak berdiri di atas gunung dan sedang menari; suara dari tangkai bulu dari seribu bulu bagaikan musik koor surgawi atau bunyi lima macam alat musik. Hanya bilamana seseorang datang mendekatnya, maka orang itu menyadari bahwa itu bukan burung merak. Material yang digunakan untuk membuat mantel ini seharga 9 koti kahapana (1 koti = 10.000.000), dan 100.000 kahapana sebagai biaya pembuatannya.
(Berdasarkan perbuatan apa yang ia lakukan pada kehidupan lampau sehingga Visakha menerima mantel ini? Di informasikan bahwa pada masa kehidupan Buddha Kassapa, ia mendanakan patta (mangkok makan) dan civara (jubah) kepada 20.000 bhikkhu, juga memberikan benang, jarum, bahan pewarna, yang semuanya miliknya. Berdasarkan pada pemberian civara itulah maka ia mendapat mantel ini. Pemberian civara bagi wanita hasil puncaknya adalah dalam bentuk mantel. Sedangkan dana patta dan civara oleh pria hasil puncak-nya adalah menerima patta dan civara secara supernatural.)
Selama empat bulan berlangsung ketika maha hartawan sedang menyiapkan matel (gaun pengantin) untuk putrinya, ia mulai memberikan mahar perkawinan (maskawin) kepada Visakha. Ia memberikan kepadanya 500 gerobak penuh dengan uang, 500 gerobak penuh dengan bejana emas, 500 gerobak penuh dengn bejana perak, 500 gerobak penuh dengan bejana tembaga, 500 gerobak penuh dengan pakaian yang terbuat dari berbagai macam sutra, 500 gerobak penuh dengn dadi susu (ghee), 500 gerobak penuh dengan beras yang telah tumbuk dan ditampik, 500 gerobak penuh dengan bajak, mata bajak, dan alat-alat pertanian lainnya.
Disebutkan bahwa pikiran seperti ini yang ada dalam benak Dhananjaya: ”Di tempat di mana putriku pergi, ia mesti tidak boleh meminta sesuatu kepada tetangganya dengan berkata: ‘Mohon saya butuh ini dan itu.’ Karena alasan inilah maka ia menyediakan semua barang ini. Selanjutnya Dhananjaya menyediakan untuk Visakha gadis-gadis budak untuk melayaninya, dengan membawa mereka dalam 500 kereta dan 3 orang menaiki tiap kereta, dengan berkata kepada mereka: ‘Kamu sekalian memandikan, memberi makan dan mengenakan pakaian kepadanya.’” Dengan demikian ia memberikan budak remaja sebanyak 1500 orang untuk melayaninya.
Kemudian pikiran berikut muncul: “Saya akan memberikan sapi-sapi kepada putriku. Maka ia memberikan perintah kepada orang-orangnya: ‘Saudara-saudara, pergi ke kandang kecil dan buka pintunya. Setelah melakukannya, tempatkan diri anda sekalian pada dua sisi sepanjang ¾ yojana (1 yojana kira-kira 7 km) dan lebar 42,20 m, dengan tambur di setiap ¼ yojana, dan jangan biarkan sapi-sapi meliwati batas-batas itu. Bilamana semua sudah pada posisinya masing-masing, pukullah tamburnya.”
Para pekerjanya itu melakukan seperti apa yang diperintahkan. Meninggalkan kandang mereka maju ¼ yojana dan membunyikan tambur; maju lagi ke ½ yojana mereka bunyikan tambur, kemudian mereka maju hingga ke ¾ yojana mereka membunyikan tambur; lalu mereka menjaga agar tidak ada sapi yang keluar dari batas. Setelah mereka lakukan hal ini, sapi-sapi telah memenuhi area seluas ¾ yojana x 42,20m, hingga berdesak-desakan.
Selanjutnya maha hartawan memerintahkan pintu kandang di tutup, dengan berkata: “Sapi-sapi ini telah cukup untuk putriku.” “Tutup pintunya.” Namun, walaupun pintu telah ditutup, oleh karena hasil buah dari Punna Visakha, sapi jantan yang sangat kuat dan sapi-sapi penyusu meloncat ke luar di atas gerbang dan bebas. Sungguh, walaupun dengan berbagai usaha dari orang-orang itu untuk menahan mereka, namun 60.000 sapi jantan kuat dan 60.000 sapi penyusu, sapi jantan muda yang kuat mengikuti sapi-sapi penyusu keluar dari dalam kandang.
(Berdasarkan karma lampau Visakha apakah sehingga sapi-sapi itu membebaskan diri? Diinformasikan bahwa pada masa Buddha Kassapa, Visakha terlahir sebagai Sanghadasi, putri bungsu dari 7 anak wanita Raja Kiki. Pada hari ia sedang berdana 5 macam produk dari sapi kepada bhikkhu sangha yang berjumlah 20.000 bhikkhu, para bhikkhu muda dan samanera menutup patta mereka dengan berkata: “Cukup! Cukup!” Tetapi walaupun mereka berusaha untuk menahannya, ia terus berkata: “Ini sangat enak, ini angat menyenangkan.” Sebagai hasil (kammaphala) perbuatan ini, maka sapi-sapi membebaskan diri walaupun orang-orang itu berusaha menahan sapi-sapi itu.)
Setelah hartawan memberikan semua harta ini kepada putrinya, istrinya berkata kepadanya:
“Anda telah menyiapkan banyak hal kepada putrimu, namun anda belum memberikan para pelayan pria dan para pelayan wanita untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Visakha. Mengapa begini?”
“Karena saya mau tahu siapa yang mempunyai rasa sayang yang tulus kepada putriku, dan siapa di antara mereka tidak sayang. Bukan maksud saya akan menyambak rambut mereka dan menyuruh mereka mengikutinya. Tetapi bilamana ia telah masuk dalam keretanya dan telah siap untuk berangkat, maka saya akan berkata: “Silahkan bagi mereka yang ingin ikut pergi bersamanya; dan siapa yang tidak ingin ikut, tinggal di sini.”
“Besok putriku akan berangkat,” pikir hartawan ketika ia sedang duduk di dalam kamarnya. Ia memanggil putrinya, dan menyuruh ia duduk di sampingnya, lalu berkata kepadaNya:
“Putriku sayang, ada beberapa tatacara tertentu yang harus ‘nak laksanakan selama ‘nak tinggal bersama keluarga suamimu.”
Setelah berkata begitu, ia melanjutkan dengan beberapa nasehat. Kebetulan Hartawan Migara sedang duduk di ruangan sebelah dan mendengar semua nasehat yang disampaikan Hartawan Dhananjaya kepada Putrinya. Inilah nasehat yang disampaikan oleh Hartawan Dhananjaya kepada putrinya:
“Putriku sayang, selama tinggal di rumah mertuamu, (1) api di dalam rumah jangan dibawa ke luar; (2) api di luar jangan di bawa ke dalam; (3) hanya memberi kepada dia yang memberi; (4) tidak memberi kepada dia yang tidak memberi; (5) beri kepada dia yang memberi dan yang tidak memberi; (6) duduklah dengan bahagia; (7) makanlah dengan bahagia; (8) tidurlah dengan bahagia; (9) jagalah api; dan (10) hormatlah yang dihormat oleh orang-orang di rumah.”
Inilah sepuluh nasehat yang di sampaikan oleh Hartawan Dhananjaya kepada putrinya. Pada keesokan harinya ia mengumpulkan semua penasehat para pekerjanya dan dengan berdiri di tengah-tengah pasukan raja, ia menunjuk 8 penasehat untuk melindungi putrinya, lalu berkata kepada mereka:
“Bilamana di tempat ke mana putriku akan pergi, ada kesalahan yang dituduhkan kepada putriku, anda sekalian berusaha membebaskan dia dari tuduhan.”
Kemudian ia menyuruh putrinya mengenakan gaun pengantinnya yang berharga 9 koti kahapana, dan memberinya uang sebanyak 54 koti kahapana untuk membeli bubuk wangi ketika ia mandi, ia membantu putrinya masuk ke dalam kereta. Ia mendampingi Visakha melalui 14 desa di sekitar Saketa sejauh Anuradhapura yang membayar upeti (pajak) kepadanya, lalu ia menyampaikan pernyataan dengan berkata:
“Silahkan siapa yang akan ikut pergi bersama putriku!”
Sesegera para penduduk dari 14 desa mendengar menyataan ini, mereka berseru:
“Mengapa kita tinggal di sini ketika nona yang mulia berangkat!”
Pada waktu mereka ikut berangkat dari desa-desa itu, tidak ada yang tersisa. Hartawan Dhananjaya memberi hormat kepada Raja dan Hartawan Migara, mengikuti mereka sejenak, dan meyerahkan tanggung jawab mengenai Visakha kepada mereka.
Ketika Hartawan Migara yang sedang duduk dalam kereta yang terakhir dari deretan kereta, melihat rombongan besar orang-orang mengikuti, ia bertanya:
“Siapa orang-orang ini?”
“Para pelayan pria dan para pelayan wanita yang bertugas untuk menantumu.”
“Siapakah yang dapat memberi makan kepada orang sebanyak ini? Pukul mereka dengan tongkat dan usir mereka pulang.”
Tetapi Visakha melakukan protes dengan berkata:
“Berhenti! Jangan usir mereka. Satu kelompok akan memberi mereka makan.”
Hartawan menjawab protes Visakha:
“Gadis manis, kita tidak memerlukan orang-orang ini. Siapa yang akan memberi mereka makan?”
Ia menyuruh mereka dipukul dengan bongkahan tanah, tongkat, dll dan mengusir mereka balik. Mengambil hanya mereka yang tidak dapat diusir lagi, dengan berkata: “Mereka ini cukup bagi kita,” lalu meneruskan perjalannan.
Kita Visakha mencapai gerbang kota Savatthi, ia berpikir: “Apakah saya akan masuk kota dengan duduk saja dalam kereta yang tertutup atau berdiri di atas kereta?” Kemudian pikiran berikut muncul: “Bilamana saya masuk ke dalam kota dengan duduk dalam kereta yang tertutup, maka kemegahan kehebatan gaun pernikahanku tidak ada yang lihat.” Selanjutnya ia masuk ke dalam kota dengan berdiri di atas kereta, menunjukkan dirinya kepada penduduk kota. Ketika penduduk kota Savatthi melihat penampilan Visakha, mereka berkata: “Inilah yang mereka katakan Visakha, penampilannya pantas untuk dia.” Demikianlah kemegahan tertampak ketika Visakha masuk ke dalam rumah Hartawan Migara.
Pada hari ketika Visakha masuk ke dalam kota Savatthi, semua penduduk kota saling berkata:
“Hartawan Dhananjaya sangat baik melayani kami ketika kami mengunjungi kotanya.”
Maka mereka mengirim hadiah sesuai kemampuan mereka untuk Visakha. Untuk semua hadiah yang diberikannya, Visakha membaginya kepada keluarga di seluruh Saketa.
“Berikan ini kepada ibuku,” ia juga berkata;
“ini untuk ayahku, ini untuk kakakku, ini untuk saudara perempuanku.”
Demikianlah ia mengatur semua hadiah yang ia kirimkan dengan berita yang baik kepada para penerimanya, memilih kata-kata yang sesuai dengan usia dan kedudukan mereka, serta menganggap semua penduduk di kota itu sebagai kerabatnya.
Pada suatu ketika di tengah malam seekor kuda betina yang bagus milik Visakha melahirkan seekor kuda. Karena itu Visakha pergi ke kandang kuda, bersama beberapa pembantu perempuannya yang membawa obor di tangan mereka. Ia memandikan anak kuda itu dengan air hangat dan meminyakinya, setelah melakukan hal itu, Visakha balik ke kamarnya.
Sementara itu Hartawan Migara berencana melakukan pesta perkawinan putranya, dan sama sekali tidak memperdulikan Tathagata, walaupun kenyataannya Guru pada waktu itu tinggal di dekat saja. Sebaliknya, karena didesak oleh rasa persahabatan yang telah lama kepada petapa telanjang, ia berguman: “Saya akan menyatakan hormatku kepada petapa.”
Pada suatu hari ia memerintahkan untuk memasak bubur yang terbaik pada 100 buah bejana baru, mengundang 500 petapa telanjang, mendampingi mereka ke rumahnya, setelah melakukan hal itu, ia menyuruh orang memberitahukan kepada Visakha:
“Dipersilahkan putri menantuku datang untuk memberi hormat kepada para arahat.”
Pada waktu itu Visakha telah mencapai kesucian Sotapanna, jami merupakan salah satu ariya puggala, maka ia merasa senang dan gembira ketika mendengar kata “Arahat.” Namun ketika ia memasuki rungan tempat para petapa telanjang sedang makan dan melihat mereka, ia berkata:
“Orang-orang seperti ini jauh dari prilaku yang sopan dan tidak takut melakukan perbuatan jahat, mereka tidak berhak menggunakan kata “arahat.” Mengapa mertuaku memanggil saya supaya datang?”
Ia mengeritik hartawan, lalu ia kembali ke kamarnya.
Ketika para petapa telanjang melihat Visakha, mereka mengeritik hartawan dengan satu pernyataan, dengan berkata:
“Saudara, mengapa anda tidak mencari gadis lain untuk menjadi istri putramu? Memasukkan seorang upasika dari samana Gotama ke rumahmu, maka anda telah memasukkan si Paling Sial di antara para orang sial. Segera usir dia dari rumah ini.”
Tetapi Hartawan Migara berpikir: “Tidak mungkin saya mengusirnya dari rumahku berdasarkan hanya kata-kata dari petapa-petapa ini; ia adalah putri dari suatu keluarga luar biasa.” Lalu ia berkata kepada para petapa telanjang:
“Para petapa yang mulia, wanita muda cenderung melakukan banyak hal tertentu, apakah disadari atau tidak. Tenanglah.”
Setelah berkata begitu, ia mempersilahkan para petapa untuk pergi. Sesudah itu ia duduk ditempat duduk yang mahal dan mulai makan bubur yang dicampur madu dalam piring emas.
Ketika itu ada seorang bhikkhu ‘yang hanya hidup dengan pindapata ’ (pindacarika) sedang pindapata , masuk ke rumah hartawan. Sementara itu, Visakha sedang berdiri mengipasi mertuanya. Ketika Visakha melihat bhikkhu itu, ia berpikir: “Tidak pantas bagiku memberitahukan keberadaan bhikkhu ini kepada mertuaku,” maka ia melangkah ke samping agar mertuanya dapat melihat bhikkhu itu. Tetapi mertuanya walaupun telah melihat bhikkhu itu, berpura-pura tidak melihatnya dan dengan kepala menunduk tetap meneruskan makannya. Visakha menyadari sendiri bahwa walaupun mertuaku melihat bhikkhu itu namun ia tidak bereaksi apa-apa, maka Visakha berkata kepada bhikkhu itu:
“Teruskanlah perjalanan, Bhante. Mertuaku sedang makan makanan sisa.”
Walaupun Hartawan Migara telah menolak saran para petapa telanjang (untuk mengusir Visakha), namun sekarang sementara ia duduk di situ, ia mendengar Visakha berkata:
“Ia sedang makan makanan sisa.”
Segera ia mengangkat tangannya dari piring dan berkata:
“Bawa pergi bubur ini dan usir wanita ini dari rumah ini. Mengingat pada waktu pesta seperti ini ia menuduh seseorang seperti saya sedang makan makanan yang tidak baik!”
Namun semua budak dan pembantu di rumah itu adalah pengikut Visakha. Siapakah yang berani menggerakkan tangan dan kaki mereka? Tidak ada seorang pun di antara mereka berani walau hanya berbicara.
Visakha mendengar kata-kata yang diucapkan oleh mertuanya, lalu berkata:
“Ayah mertua, ini merupakan dasar yang tidak cukup kuat bagi saya untuk meninggalkan rumahmu. Saya bukan seorang perempuan murahan yang dibawa kemari olehmu dari tempat mandi di sungai. Para putri yang memiliki para ayah dan ibu yang masih hidup, tidak meninggalkan rumah mertua mereka hanya berdasarkan hal seperti ini. Sesungguhnya, berdasarkan hal-hal seperti ini, ketika saya berangkat dan datang ke mari, ayahku telah memerintahkan 8 penasehat rumah tangga dan menempatkan mereka untuk ku, dengan berkata: ‘Bilamana di tempat ke mana putriku akan pergi, ada kesalahan yang dituduhkan kepada putriku, anda sekalian berusaha membebaskan dia dari tuduhan.’ Maka panggil para penasehatku biar mereka membebaskanku dari tuduhan.
“Apa yang Visakha katakan benar,” kata hartawan.
Lalu ia memanggil 8 penasehat dan berkata kepada mereka:
“Pada waktu pesta, saya sedang duduk dan makan bubur dengan piring emas, wanita muda ini berkata ‘saya sedang makan makanan yang tidak baik’. Hukum dia berdasarkan tuduhan ini dan usir dia dari rumah ini.”
“Apakah yang ia katakan benar, Visakha?”
“Saya tidak mengatakan sesungguhnya seperti itu. Persoalannya begini: Ada seorang bhikkhu sedang pindapata dan berhenti di depan pintu rumah ini, ketika itu mertuaku sedang makan bubur dengan bumbu yang banyak seperti madu, namun tidak memperdulikan bhikkhu itu. Saya berpikir: ‘Mertuaku tidak mendapat karma baik baru pada kehidupan sekarang ini, tetapi ia hanya menikmati (sisa) karmanya yang lalu saja.’ Maka saya berkata kepada bhikkhu: ‘Lanjutkanlah perjalan Bhante. Mertuaku sedang makan makanan sisa.’ Ada salah apa padaku dengan mengatakan hal seperti ini?”
“Tidak sama sekali. Apa yang dikatakan oleh putri kami adalah wajar. Mengapa anda marah kepadanya?”
“Saudara-saudara sekalian, dalam hal ini saya menerima ia tidak bersalah. Namun, pada suatu waktu yang lalu, di waktu tengah malam, ia pergi ke belakan rumah ini bersama dengan para budaknya, pria dan wanita.”
“Apakah benar yang ia katakan, Visakha.”
“Kawan-kawan, alasan pergi tidak lain adalah begini: ‘ Kuda betinaku yang bagus melahirkan seekor anak kuda di kandang yang ada persis disamping rumah. Saya berpikir: ‘Tidak pantas apa bila saya hanya duduk di sini dan tidak berbuat sesuatu.’ Maka saya memerintah para budakmu untuk membawa obor dan bersama dengan para budak pria dan wanita, saya pergi ke kandang dan melakukan sesuatu yang cocok untuk kuda itu.”
“Saudara, putri kami melakukan pekerjaan di rumahmu yang tidak pantas sekalipun dilakukan oleh budakmu. Salah apa yang anda temukan?”
“Saudara-saudara sekalian, dalam hal ini saya menerima ia tidak bersalah. Namun, ketika Visakha sudah akan datang kemari, ayahnya memberinya nasehat, ia memberikan kepadanya Sepuluh Nasehat dengan arti tersembunyi yang dalam. Saya tidak mengetahui apa artinya hal-hal itu. Persi-lahkan ia menerangkan kepadaku artinya. Seperti contoh, ayahnya mengatakan kepadanya: ‘Api di dalam jangan dibawa ke luar.’ Bagaimana kita dapat hidup tanpa memberikan api kepada para tetangga yang tinggal di ke dua sisi kita?”
“Apakah yang ia katakan benar, Visakha?”
“Kawan-kawan, yang dimaksud oleh ayahku bukan seperti itu. Yang dimaksudkan oleh ayahku, adalah: ‘Anakku, bilamana anak melihat kesalahan pada mertuamu atau pada suamimu, jangan katakan hal tu bila kau datang ke sini atau ke tempat lain, karena tidak ada api yang dapat dibandingkan dengan api seperti ini.”
“Saudara-saudara, bolehlah seperti itu. Tetapi ayahnya berkata kepadanya: ‘Api di luar jangan dibawa ke dalam.’ Bilamana api di dalam padam, apa lagi yang dapat kita lakukan selain membawa api dari luar.”
“Apakah benar yang ia katakan, Visakha?”
“Kawan-kawan, yang dimaksud oleh ayahku bukan seperti itu. Yang dimaksud oleh ayahku, adalah: ‘Bilamana para wanita dan pria tetanggamu mengatakan kata-kata jahat tentang mertuamu atau suamimu, janganlah kau menyampaikan (bawa) apa yang kau dengar itu dengan berkata: ‘Anu dan situ mengtakan ini dan itu yang tidak baik tentangmu.’ Karena tidak ada api yang dapat dbandingkan dengan api ini.”
“Jadi ia tidak bersalah dalam hal ini, begitu pula dengan hal-hal lain. Inilah arti sebenarnya dari nasehat-nasehat itu, Demikian pula dengan nasehat-nasehat :
- Berikan kepada dia yang memberi, artinya seseorang memberikan hanya kepada mereka yang mengembalikan barang yang dipinjam.
- Tidak memberi kepada yang tidak memberi, artinya seseorang tidak memberi kepada mereka yang tidak mengembalikan barang yang dipinjam.
- Memberi kepada yang memberi dan kepada yang tidak memberi, artinya bilamana kerabat atau kawan miskin memerlukan bantuan, kita harus memberikan kepada mereka, apakah mereka dapat membayarnya (mengembalikan-nya) atau tidak.
- Duduklah dengan bahagia, artinya bilamana seorang istri melihat ibu mertua, ayah mertua atau suami, ia harus berdiri dan tidak boleh duduk saja.
- Makanlah dengan bahagia, artinya seorang istri belum boleh makan sebelum ayah-ibu mertua dan istri makan. Ia harus melyani mereka dahulu, dan bilamana ia yakin bahwa mereka sudah siap semua untuk makan, maka barulah ia makan.
- Tidurlah dengan bahagia, artinya serang istri tidak pergi tidur sebelum ayah-ibu mertua atau suaminya tidur. Ia harus melakukan pekerjaan besar kecil yang harus dia kerjakan, setelah ia mengerjakannya barulah ia berbaring untuk tidur.
- Jagalah api, artinya seorang istri memandang ayah-ibu mertua atau suami bagaikan nyala api atau raja naga, sehingga dalam hal ini seorang istri diwajibkan untuk menjaga ayah-ibu mertua.
- Hormatlah apa yang dihormati oleh orang-orang di rumah, artinya seorang istri harus memperhatikan ayah-ibu mertuanya dan suaminya sebagai yang perlu dihormatinya.
Ketika hartawan mendengar uraian arti dari Sepuluh Nasehat, ia duduk dengan kepala tertunduk, tak dapat menjawab. Kemudian para penasehat bertanya kepadanya:
“Hartawan, apakah masih ada kesalahan pada anak kami?”
“Saudara-saudara, tidak ada.”
“Bila demikian, mengapa ia yang tanpa kesalahan, tanpa sebab, anda usahakan untuk diusir dari rumahmu?”
Kemudian Visakha berkata:
“Kawan-kawan, walaupun pada mulanya tidak pantas bagiku untuk pergi karena perintah ayah mertuaku, lagi pula ketika saya kemari ayah menyerahkan saya ke tangan para penasehat sekalian untuk menentukan saya bersalah atau tidak, namun sekarang, setelah jelas saya tidak bersalah, maka sudah pantas kalau saya pergi.”
Segera Visakha memberikan perintah:
“Pesiapakan keberangkatan saya, para pembantu, budak pria dan wanita, bersama para pengikut, serta kereta-keretaku.”
Karena itu, hartawan menahan para penasehat dan berkata kepada Visakha:
“Menantuku, karena kebodohankulah aku berkata begitu. Maafkan saya.”
“Mertuaku, saya memaafkanmu untuk semuanya, dari pihakku. Namun, ayah adalah putri sebuah keluarga yang memiliki keyakinan yang kuat pada Buddha Sasana, dan kami tidak dapat hidup tanpa Bhikkhu Sangha. Jikalau saya diizinkan untuk melayani Bhikkhu Sangha sesuai dengan keinginan saya, saya akan tinggal.”
“Menantuku, anda dapat melayani para bhikkhu sesuai dengan kehendak hatimu.”
Visakha mengirimkan undangakn kepada Pemilik Dasabala, dan pada keesokan harinya ia melayani Beliau di rumahnya. Para petapa telanjang juga mendengar bahwa Guru pergi ke rumah Hartawan Migara, mereka datang dan duduk di seputar rumah. Ketika Visakha telah memberikan Dana Air kepada guru, ia mengirmkan kabar kepada mertuanya sebagai berikut:
“Pesta telah selesai. Silahkan ayah mertua datang untuk menemui Pemilik Dasabala”.
Ketika itu, Hartawan Migara ingin pergi, tetapi para Petapa Telanjang membujuknya dengan berkata:
“Saudara, tidak perlu berpikir untuk menemui petapa Gotama.”
Maka ia mengirim balik kabar:
“Silahkan menantuku sendiri yang menemuinya.”
Setelah Visakha melayani Bhikkhu Sangha yang dikepalai Sang Buddha dengan makanan, dan makan telah selesai, ia mengirmkan kabar ke dua kepada mertuanya:
“Silahkan ayah mertua mendengar Dhamma yang akan dibabarkab oleh Guru.”
Hartawan berpikir: ‘Sekarang, sangat tidak pantas apabila saya tidak pergi,’ dan karena ingin sekali mendengar Dhamma, maka ia pergi. Karena itu para Petapa Telanjang untuk ke dua kalinya berkata kepadanya:
“Baiklah, bilamana anda memutuskan ingin mendengar petapa Gotama, duduklah di balik luar layar kain dan mendengarlah.”
Hartawan pergi dan duduk dibalik layar kain.
Kemudian Guru berkata:
“Anda boleh duduk di balik layar, dibalik dinding, di balik gunung, atau anda duduk di balik pegunungan yang melingkari bumi; Saya adalah Buddha, dan saya dapat menyampaikan suara kepadamu sehingga kamu mendengar.”
Bagaikan menangkap dan menggoyang batang pohon apel yang besar atau menyebabkan hujan ambrosia turun, beliau mulai ‘membabarkan Dhamma secara berurutan’ (anupubbikatha). Sementara itu, ketika Samma Sambuddha membabarkan Dhamma, maka mereka yang berada di depan dan mereka yang berada di belakang, mereka yang berada sejauh 100 Cakkavala (tatasurya) atau 1000 Cakkavala, juga mereka yang berada di Alam Akanittha berkata:
“Guru hanya melihat saya sendiri; Beliau hanya membabarkan kepada saya sendiri.”
Karena Guru nampaknya hanya melihat pada setiap individu dan berbicara dengan setiap individu saja. Para Buddha dikatakan bagaikan bulan. Karena bulan yang berada di tengah angkasa nampak sama bagi semua makhluk, sehingga masing-masing individu berpikir: “Bulan di atas saya, bulan tepat di atas saya,” begitu pula para Buddha nampak berdiri berhadap-hadapan dengan setiap individu, di mana pun individu berada. Ini dikatakan sebagai pahala dari kedermawanan memberikan kepala mereka, mencopot mata mereka, memberikan jantung mereka, dan memberikan putra mereka menjadi budak orang lain, seperti putranya Jali, putrinya Kanhajina dan istrinya Maddi (baca Vessantara Jataka).
Selagi Hartawan Migara duduk di balik layar, mengarahkan perhatiannya pada ajaran Tathagata, ia menjadi Sotapanna dengan 1000 macam kegembiraan, dan diliputi keyakinan yang tak tergoyahkan, menerima Tissarana dengan penuh keyakinan. Ia mengangkat layar, ia pergi ke depan, mencium dada menantunya, ia mengangkat Visakha sebagai ibunya, dengan berkata: “Sejak hari ini anda adalah ibuku.” Dan sejak hari itu ia dipangggil Visakha Migaramata (Ibu Migara). (Kemudian, ketika Visakha memiliki putra, ia memberikan nama pada putranya Migara).
Kemudian, Hartawan melepaskan dekapannya dari dada Visakha, lalu ia pergi kepada Bhagava, menjatuhkan dirinya di kaki Beliau, megosok kaki Beliau dengan tangannya, kemudian mencium ke dua kaki beliau, dan tiga kali ia menyebut namanya, dengan berkata :
“Bhante, saya Migara.”
Lalu ia berkata:
“Bhante, selama ini saya tidak mengetahui benyaknya manfaat berdana kepadamu, tetapi sekarang karena manantuku, saya dapat mengetahuinya dan telah mendapat kebebasan dari semua derita (dukkha) dari alam penderitaan (apaya). Ketika menantuku datang ke rumahku, ia datang demi kesejahteraan dan keselamatanku.”
Setelah berkata begitu, ia mengucapkan syair berikut:

“Pada hari ini saya tahu di mana dana menghasilkan pahala yang banyak; Demi kesejahteraanku, menantu wanita yang terbaik datang ke rumahku.”
Visakha mengundang Guru untuk datang besok, dan pada hari berikutnya ibu mertuanya menjadi Sotapanna. Sejak waktu itu, rumah itu tetap terbuka untuk Buddha Sasana.
Kemudian hartawan berpikir: ‘Menantu perem-puanku telah memberikan pelayanan yang sangat besar. Saya akan memberikannya sebuah hadiah. Gaun pengantinya sangat berat sehingga tidak mungkin ia selalu mengenakannya. Saya akan membuat sebuah gaun seperti itu yang ringan untuknya dan ia dapat mengenakannya pada siang dan malam dalam 4 macam posisi tubuh.’
Selanjutnya dengan uang sebanyak 100.000 kahapana ia menyuruh membuat mantel untuknya yang dinamakan mantel keras terasah, setelah mantel ini selesai, ia mengundang Bhikkhu Sangha yang dikepalai Sang Buddha dan melaksankan sebuah pesta yang besar.
Kemudian ia menyuruh Visakaha mandi dengan 16 gentong dengan air harum, sesudah itu mengenakan mantel ini. Setelah ia mengenakannya, ia menyuruh Visakha untuk berdiri di depan guru dan memberikan hormat kepada Guru. Kemudian guru mengucapkan kata anumodana (ikut gembira atas perbuatan dana), dan kembali ke vihara.
Sejak itu Visakha memberikan dana-dana, melaksanakan perbuatan berjasa lainnya, dan mendapat 8 berkah (attha Vare). Bagaikan bulan yang bertambah besar di angkasa, begitu pula dengan Visakha yang bertambah besar dengan para putra dan para putrinya.
Dikatakan bahwa ia mempunyai 10 putra dan 10 putri, dan masing-masing mereka mempunyai 10 putra dan sepuluh putri (cucu-cucunya), dan(cucu-cucunya ini) masing-masing mempunyai 10 putra dan 10 putri pula. Dengan demikian anak-anak, cucu dan cicitnya dalam garis langsung dari Visakha, berjumlah 8420 orang. Visakha sendiri hidup hingga berusia 120 tahun, namun tidak ada sehelai rambut putih di kepalanya, ia selalu nampak seperti berusia 16 tahun.
Ketika orang-orang melihat ia ke vihara, di kelilingi oleh para anak-anak dan cucu-cucunya, selalu ada orang yang bertanya: “Yang mana Visakha?” Ketika mereka melihat ia datang, mereka berpikir: ‘Biarlah ia berjalan agak jauh; nyonya kita kelihatan cantik kalau ia berjalan.’
Bilamana mereka melihat ia duduk atau berbaring, mereka berpikir: “Biarlah ia berbaring lebih lama; nyonya kita kelihatan cantik ketika ia berbaring.” Dengan begitu tidak ada seorang pun yang dapat berkata: “Ia tidak nampak cantik dalam 4 posisi.”
Lagi pula ia memiliki kekuatan sekuat 5 gajah. Karena pada suatu hari raja, yang mendengar bahwa Visakha memiliki kekuatan 5 gajah, bertekad akan mengujinya. Demikianlah dalam perjalanan Visakha kembali dari vihara, setelah mendengar Dhamma, Raja melepaskan seekor gajah ke arah Visakha. Gajah mengangkat gadingnya dan berjalan ke arah Visakha. Lima ratus wanita yang menyertainya, banyak yang lari ketakutan, sedangkan yang lain mengangkat tangan ke arah Visakha.
“Ada apa?” tanya Visakha.
“Nyonya yang baik,” mereka menjawab, “mereka mengatakan bahwa raja ingin menguji kekuatan anda dan beliau telah melepas seekor gajah untuk melawan anda.”
Ketika Visakha melihat gajah itu, ia berpikir: “Mengapa saya harus lari? Bagaimana kalau saya pegang dia? Jika saya memeganggnya dengan kuat, saya dapat membunuhnya.” Maka Visakha memegang gadingnya di antara ke dua jarinya, lalu ia mendorongnya mundur. Gajah tidak dapat melawan kekuatan Visakha dan untuk mempertahankan injakan kakinya, menyebabkan gajah jatuh terduduk di halaman istana. Karena hal itu maka orang-orang bertepuk tangan untuknya, dan Visakha bersama para pesertanya kembali ke rumahnya dengan selamat.
Pada waktu itu, di Savatthi, Visakha Migaramata telah memiliki banyak anak, banyak cucu dan banyak cicit. Semua anak, cucu dan cicit bebas dari sakit, dan ia dianggap membawa keberuntungan. Juga semua anak, cucu dan cicitnya yang berjumlah beberapa ribu itu tidak ada yang meninggal dunia. Pada pesta-pesta dan hari-hari libur, para penduduk Savatthi selalu mengundang Visakha lebih dahulu ke pesta mereka.
Pada suatu pesta, semua orang mengenakan baju baru yang mahal dan didandani, sedang dalam perjalanan ke vihara untuk mendengar Dhamma, Visakha juga, setelah makan di rumah di mana ia di undang, mengenakan mantel kebesarannya dan bersama orang-orang pergi ke vihara. Ia melepaskan semua perhiasan-nya, ia memberikannya kepada pelayan wanitanya. Hal ini sama seperti apa yang dikatakan.
Sementara ada pesta di Savatthi, dan orang-orang mengnakan baju baru yang mahal dan didandani, pergi ke vihara; dan Visakha Migaramata, mengenakan pakaian kebesarannya dan didandani, juga pergi ke vihara. Viskha Migaramata melepaskan semua perhiasan, membungkus-nya dengan kain, lalu memberikannya kepada pembantu wanitanya, dengan berkata: “Hai, ambil bukusan ini!”
Dikatakan bahwa, selagi Visakha dalam perjalanan ke vihara, ia berpikir: ‘Tidak pantas bilamana saya masuk ke vihara diliputi oleh permata, mengenakan mantel mahal seperti ini pada diriku, yang menutupi dari kepala sampai kaki.’ Maka ia melepaskan mantel mewahnya, ia melipatnya dan memberikan kepada pembantunya, yang mampu membawanya, yang memiliki kekuatan seperti kekuatan 5 ekor gajah, yang dimilikinya karena pahala karmanya. Itulah sebabnya Visakha berkata kepadanya:
“Nona, bawa mantel ini. Pada waktu saya kembali setelah mendengar khotbah Guru, saya akan mengenakannya lagi.”
Setelah ia memberikan mantel mewah kepada pembantunya, ia mengenakan mantel keras yang digosok dengan baik, dan mendekati guru untuk mendengar Dhamma. Setelah mendengar uraian Dhamma Sang Bhagava, ia bangkit dari duduk dan keluar.
Pembantunya yang telah melupakan mantel mewah berjalan bersamanya.
Pada waktu itu, sudah merupakan kebiasaan Ananda Thera, setelah orang-orang pulang sesudah mendengar Dhamma, dan bilamana ada barang yang terlupakan atau ketinggalan, ia akan menyimpannya. Begitu pula pada hari yang istimewa ini, karena ia melihat mantel mewah, ia berkata kepada Guru:
“Bhante, Visakha telah pergi dan melupakan mantel mewahnya.”
“Simpan itu, Ananda.”
Demikianlah maka Thera mengambil mantel itu dan menggantungnya di samping tangga.
============
Karena maksud menyiapkan kebutuhan mereka, maka Visakha bersama Suppiya berkeliling vihara. Visakha berpikir: ‘Saya tahu obat apa dan kebutuhan lain apa yang dibutuhkan oleh para bhikkhu yang datang dan pergi dan yang sakit atau yang diperlukan.’
Pada waktu itu, bilamana para bhikkhu muda dan para samanera melihat dua upasika ini berkeliling vihara, mereka yang membutuhkan dadi susu, madu, minyak dan bkebutuhan lainnya biasanya mengambil patta dan bejana mereka dan mendatangi mereka berdua. Pada hari ini pun mereka melakukan kebiasaan itu.
Suppiya melihat ada seorang bhikkhu yang sakit bertanya kepadanya:
“Apakah yang bhante perlukan?”
“Sup-daging.”
“Baiklah, Bhante. Saya akan mencarinya dan mengirimkan kepada bhante.”
Pada keesokan harinya, karena tidak menemukan daging yang baik untuk membuat sup, ia memotong daging pahanya. Namun karena keyakinannya kepada Guru, tubuhnya pulih kembali.
Ketika Visakha telah melayani semua bhikkhu yang sakit dan semua bhikkhu muda dan samanera, ia pergi melalui pintu yang lain. Berhenti di dekat vihara ia berkata kepada gadis pembantunya:
“Nona, bawa kemari mantel saya. Saya mau mengenakannya.”
Pada saat itu, gadis pembantu merenung bahwa ia telah lupa membawa mantel itu bersamanya ketika ia ke luar. Maka ia menjawab:
“Nyonya, saya lupa membawa mantel itu.”
“Naiklah kalau begitu, balik dan ambil itu. Tetapi bilamana Yang Mulia Ananda Thera telah mengambil dan menyimpannya, jangan bawa itu kepada saya. Dalam hal ini dengan senang hati saya memberikannya kepada Ananda Thera.”
Karena Visakha mengetahui: “Merupakan kebiasan Thera untuk menyimpan barang-barang yang terlupa atau tertinggal.” Karena hal inilah maka Visakha berkata begitu.
Ketika Thera melihat pembatu pembantu ini, ia bertanya kepada pembantu itu:
“Mengapa kau kembali?”
Gadis pembantu Visakha menjawab:
“Ketika saya pergi saya lupa membawa mantel milik dari Nyonya saya.”
“Saya mengantungnya di tangga. Pergilah ambil.”
Tetapi pembantu itu menjawab:
“Bhante, semua barang yang telah Bhante sentuh tidak akan dipindahkan oleh nyonya saya.”
Dengan perasaan senang dan gembira, ia kembali kepada nyonyanya.
“Ada apa?” Tanya Visakha. Gadis pembantu menceritakan apa yang terjadi.
Visakha berkata:
“Nona, saya tidak akan mengenakan barang yang telah disentuh oleh yang mulia. Saya memberi-kannya dengan senang hati. Tetapi sebuah mantel akan mengganggu Yang Mulia karena harus mengurusnya. Saya akan menjualnya dan memberikan uang seharga mantel itu kepada Yang Mulia. Pergi dan ambil itu.”
Gadis pembantu pergi dan membawa balik mantel itu.
Visakha tidak mengenakan mantel itu, tetapi ia mengirimnya kepada tukang emas dan menanyakan harganya. Tukang emas memberitahu:
“Mantel harganya 9 koti kahapana, dan biaya pembuatannya 100.000 kahapana.”
Selanjutnya Visakha menyuruh mantel itu ditempakan pada sebuah kereta dan berkata:
“Baiklah , jual itu.”
Namun tidak ada seorang pun yang sanggup membeli dengan harga seperti itu. (Wanita yang sanggup mengenakan mantel itu sulit diemukan. Sesungguhnya di dunia ini hanya ada 3 wanita yang mendapat gaun atau mantel seperti ini, yaitu: Upasika Visakha; istri Bandula, raja suku Malla; dan Mallika putri hartawan Baranasi).
Akhirnya Visakha sendiri yang membeli mantel itu, seharga 9 koti kahapana dan 100.000 kahapana yang ia tempatkan pada sebuah kereta, dan menyuruh uang itu di bawa ke vihara. Lalu ia bernamaskara kepada Guru, dan berkata:
“Pikiran seperti ini muncul dalam benakku: ‘Bhante, Thera Ananda telah menyentu mantelku, dan sejak saat itu saya memutuskan saya tidak akan mengenakannya lagi. Maka saya memutuskan menjualnya dan uang penjualannya saya serahkan kepada Bhante.’ Tetapi ketika saya coba menjualnya, saya tidak menemukan seseorang yang dapat membelinya, maka saya sendiri yang membelinya dan membawa uang itu kepada Bhante. Empat kebutuhan mana yang perlu saya berikan kepada Bhante?”
Guru berkata:
“Visakha, apakah sesuai bagi anda untuk mendirikan kuti (tempat tinggal) bagi para bhikkhu di gerbang timur vihara?”
“Itu sangat cocok bagi saya, Bhante,” jawab Visakha,
Visakha hatinya diliputi kegembiraan. Maka dengan uang sebanyak 9 koti kahapana ia membeli tanah untuk lokasi, dan dengan 9 koti kahapana lagi ia mulai membangun kuti bagi para bhikkhu.
Pada suatu hari, selagi Guru melihat (memeriksa) dunia pada pagi menjelang mata hari terbit, Beliau mengetahui bahwa kemampuan menjadi Sotapanna telah dimiliki oleh seorang putra hartawan bernama Bhaddiya, yang dahulu meninggal dari alam dewa dan terlahir kembali dalam keluarga hartawan di kota Bhaddiya. Maka setelah Beliau sarapan di rumah Visakha, beliau pergi melalui gerbang selatan dan sejenak berada di Jetavana; setelah Beliau makan di rumah Anathapindika, Beliau keluar melalui gerbang timur dan sejenak berada di Pubbarama.
Dengan demikian, ketika orang-orang melihat Sang Bhagava ke luar melalui gerbang utara, mereka menyadari bahwa Beliau akan melakukan perjalanan.
Demikianlah, ketika pada hari itu Visakha mendengar Guru akan pergi melalui gerbang utara, ia segera pergi menemui Guru, bernamaskara, dan berkata:
“Bhante, apakah Bhante berniat akan bepergian?”
“Ya, Visakha.”
“Bhante, saya telah mendirikan kuti untuk Bhante dengan semua biaya. Mohon balik, Bhante?”
“Visakha, perjalanan ini tidak memungkinkan saya balik.”
Visakha berpikir: “Tidak diragukan Sang Bhagava punya alasan kuat dengan apa yang Ia lakukan.” Maka ia berkata kepada Guru:
“Bila demikian, baiklah. Sebelum Bhante pergi, tunjuk beberapa bhikkhu yang mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan untuk tinggal.”
“Visakha, ambillah patta dari bhikkhu yang anda sukai.”
Walaupun Visakha menyukai Ananda Thera, namun ia berpikir: “Mahamoggallana Thera memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dengan bantuannya maka pekerjaan saya akan mudah selesai,”
Ia mengambil patta Mahamoggallana Thera. Thera melihat kepada Guru, dan Guru berkata:
“Moggallana, bawalah bersamamu para pengikut-mu sebanyak 500 bhikkhu dan balik.”
Thera melaksanakan seperti apa yang diperintah-kan guru.
Dengan kekuatan batin Moggallana Thera mereka pergi 50 atau 60 yojana mengambil pohon-pohon dan bebatuan dan kembali dengan benda-benda itu pada hari yang sama. Hal ini tidak melelahkan mereka untuk mengangkat pepohonan dan bebatuan dan menempatkan itu ke atas gerobak, dan tidak ada as gerobak yang patah, tetapi dengan cepat mereka mendirikan kuti dua tingkat.
Ada 500 kamar di lantai bawah dan 500 kamar di lantai atas; dengan demikian terdapat 1000 kuti.
Guru setelah bepergian selama 9 bulan, kembali ke Savatthi. Dalam 9 bulan, pekerjaan Visakha selesai, dan ia sedang membangun sebuah menara yang kuat terbuat dari emas merah yang dibentuk untuk menempatkan 60 gentong air.
Ketika Visakha mendengar bahwa Guru sedang dalam perjalanan ke Jetavana, maka ia pergi menemui Beliau, dan mengantar Beliau ke vihara yang sedang ia bangun, dan memastikan dengan janjinya kepada Beliau:
“Bhante, bawalah Bhikkhu Sangha ke sini selama 4 bulan dan tinggalah di sini, saya akan menyelesai-kan kuti-kuti untuk para bhikkhu.”
Guru menyetujui untuk datang. Sejak hari itu ia memberikan dana-dana kepada Bhikkhu Sangha yang dikepalai oleh Sang Buddha di vihara itu.
Ada seorang teman Visakha yang datang menemuinya dengan membawa sehelai permadani yang berharga 100.000 kahapana, dan berkata kepada Visakha:
“Kawan, saya ingin menempatkan permadani ini di tempatmu. Katakanlah kepadaku di mana saya akan membentangkannya.”
Visakha menjawab:
“Bilamana saya berkata kepadamu, ‘Tidak ada tempat lagi, ’anda akan berpendapat, ‘Visakha tidak mau memberikan tempat untuk saya;’ maka anda sendirilah yang mencari tempat di antara dua lantai dan seribu kamar, dan lihatlah apakah ada tempat untuk membentangkan permadanimu.”
Selanjutnya wanita itu membawa permadani yang berharga 100.000 kahapana dan pergi ke semua kuti. Namun ia tidak menemukan permadani yang lebih murah dari pada yang ia miliki, maka ia berpikir: “Saya tidak akan mendapat pahala dalam gedung kuti-kuti ini.” Ia diliputi kesedihan, berhenti di tempat tertentu dan berdiri sambil menangis.
Ananda Thera melihatnya dan bertanya kepadanya:
“Mengapa anda menangis?”
Ia memberitahukan persoalannya. Thera berkata:
“Jangan bersedih. Saya akan menunjukkan padamu di mana anda dapat membentangkan permadani-mu. Buatlah keset kaki dan letakkan itu di antara tangga dan tempat para bhikkhu mencuci kaki mereka. Bilamana para bhikkhu mencucu kaki mereka, lebih dahulu mereka akan melap (menggosok) kaki mereka pada keset sebelum mereka pergi ke vihara. Dengan begini anda akan mendapat banyak pahala.”
Nampaknya Visakha tidak memperhatikan bagian ini.
Setelah 4 bulan Visakha memberikan dana kepada Bhikkhu Sangha yang dikepalai oleh Sang Buddha, maka pada hari terakhir Visakha memberikan kain untuk jubah (civara) kepada Bhikkhu Sangha, setiap samanera menerima kain untuk civara seharga masing-masing 1000 kahapana. Di akhir semuanya, ia memberikan obat-obatan kepada para bhikkhu, dengan mengisi patta setiap bhikkhu.
Harta yang ia berikan sebagai dana berjumlah 9 koti kahapana. Jadi untuk semuanya ia menghabiskan harta sebanyak 27 koti kahapada untuk Buddha Sasana, yaitu 9 koti kahapana untuk membeli tanah lokasi, 9 koti untuk mendirikan kuti, dan 9 koti untuk dana. Tidak ada wanita lain di dunia ini yang memberikan banyak uang seperti wanita ini yng hidup di rumah orang yang (yang pada waktu yang lalu) beragama lain.
Pada hari ketika vihara telah selesai dan acara peresmian sedang berlangsung, sementara bayangan malam bertambah panjang, Visakha berjalan mengelilingi vihara disertai anak-anak, cucu-cucu dan buyutnya. Kemudian ia berpikir: “Sekarang semua harapanku telah terpenuhi, harapan yang saya tekadkan pada masa yang lampau.” Dalam lima syair, dengan suaranya merdu, ia menyatakan Ungkapan Syadhu sebagai berikut:



Kapankah saya akan memberikan dana sebuah vihara, sebuah tempat yang menyenangkan yang diplester dengan semen dan adukan pasir? Memenuhinya adalah keinginanku.
Kapankah saya akan memberikan dana perabotan sebuah tempat tinggal, tempat-tempat tidur, tempat duduki, tikar dan bantal? Memenuhinya adalah keinginanku.
Kapankah saya akan memberikan dana makanan, makanan tertentu yang dibumbuhi dangan sup daging murni? Memenuhinya adalah keinginanku.
Kapankah saya akan memberikan dana jubah, kain Baranasi, linan dan katun? Memenuhinya adalah keinginanku.
Kapankah saya akan memberikan dana obat-obatan, dadi susu, madu, minyak, dan jaggery? Memenuhinya adalah keinginanku.

Para bhikkhu yang mendengar suaranya, berkata kepada Guru:
“Bhante, selama ini kami tidak pernah tahu Visakha dapat menyanyi. Tetapi hari ini, dengan di kelilingi oleh para anak, para cucu dan para buyutnya, ia berkeliling-keliling vihara sambil bernyanyi. Apakah empedunya tidak normal atau ia telah gila?”
Guru menjawab:
“Para bhikkhu, anakku tidak menyanyi. Namun tekadnya yang luhur sekarang terpenuhi, dan hatinya diliputi kegembiraan dengan pikiran: ‘Harapan yang saya harapkan, sekarang terpenuhi,’ dan ia menyatakan ungkapan syadhu selagi ia berjalan.”
“Tetapi, Bhante, kapan ia mengharapkan keingian ini?”
“Apakah anda sekalian mau mendengarnya, para bhikkhu?”
“Ya, Bhante, kami mau mendengarnya.”
Karena itu Guru menceritakan hal berikut ini.


Cerita yang lampau
Keinginan Mulia Visakha


Para bhikkhu, 100.000 kappa yang lampau, Samma Sambuddha Padumuttara muncul di dunia. Usia rata-rata pada masa itu adalah 100.000 tahun, para arahat pengikutnya sebanyak 100.000 orang, kotanya adalah Hamsavati, ayahnya bernama Sunanda, dan ibunya bernama Sujata Devi. Seorang upasika, yang merupakan donatur utamanya mendapat Delapan Berkah (boon), ia memiliki hubungan bagaikan ibu kepada Sang Buddha. Ia menyediakan Empat Kebutuhan (catu paccaya, yaitu makanan, jubah, kuti – tempat tinggal, dan obat-obatan) untuk Guru dan melayani beliau di pagi dan sore.
Ketika itu ia memiliki seorang teman yang sering bersamanya pergi ke vihara. Temannya memperhatikan bahwa ia sangat akrab berbicara dengan Guru, juga ia disayangi Guru, maka ia berpikir: “Mengapa wanita ini disayangi para Buddha?” Maka pada suatu hari ia bertanya kepada Guru:
“Bhante, apa hubungannya wanita ini dengan Bhante?”
“Ia adalah donatur utama saya.”
“Bhante, bagaimana seorang wanita menjadi donatur utama para Buddha?”
“Dengan cara membuat tekad berkeinginan mulia selama 100.000 kappa.”
“Bhante, apakah mungkin seorang wanita mencapai kedudukan ini dengan membuat tekad berkeinginan mulia pada saat sekarang?”
“Ya, itu mungkin.”
“Baiklah, Bhante, terimalah makanan dari tangan
Selama 7 hari upasika ini memberikan dana kepada Guru. Pada hari terakhir, ia mengambil patta dan civara (jubah) Guru, ia memberikan hormat kepada Guru dengan bernamaskara, lalu menyatakan Tekad Keinginan Mulianya:
“Bhante, saya melakukan dana-dana ini bukan mencari pahala (punna) untuk berkuasa di alam dewa; tetapi semoga saya menerima Delapan Berkah dari Sang Buddha seperti Bhante, semoga saya dapat berkedudukan sebagai ibu kepadaNya, dan semoga saya menjadi wanita utama sebagai donatur Empat Kebutuhan.”
Guru berpikir:
“Apakah keinginan mulianya ini terpenuhi?”
Setelah memikirkan masa depan dan melihat hingga 100.000 kappa, Beliau berkata kepada wanita itu:
“Di akhir 100.000 kappa, seorang Samma Sambuddha bernama Gotama akan muncul di dunia. Pada waktu itu anda akan menjadi seorang upasika bernama Visakha; anda akan menerima Delapan Berkah, anda akan berkedudukan bagaikan ibu kepadanya, dan anda akan menjadi wanita donatur utama yang menyediakan Empat Kebutuhan.”
Jadi jelaslah dapat dikatakan bahwa ia mendapat pencapaian ini. Setelah mengahabiskan sisa hidupnya dengan melakukan perbuatan baik, ia meninggal dunia dan terlahir kembali di alam dewa.
Setelah meninggal, terlahir kembali dan hidup di alam-alam para dewa dan alam-alam manusia berkali-kali, ia terlahir kembali di masa kehidupan Buddha Kassapa sebagai Sanghadasi, putri bungsu dari tujuh putri Kiki, Raja Kasi. Ia kawin dan hidup bersama keluarga suaminya, dan sepanjang waktu yang lama ia memberikan dana-dana serta melakukan perbuatan-perbuatan berpahala bersama para kakak wanitanya.
Pada suatu hari ia bernamaskara di kaki Samma Sambuddha Kassapa dan melakukan Tekad Keingian Mulia:
“Semoga saya pada masa yang akan datang berkedudukan bagaikan seorang ibu kepada Sang Buddha seperti Bhante, dan semoga saya menjadi wanita utama yang menyediakan Empat Kebutuhan kepada Beliau.”
Selanjutnya ia meninggal dan terlahir berkali-kali di alam dewa dan alam manusia, dan pada kehidupan sekarang ini ia terlahir sebagai putri dari Hartawan Dhananjaya, yang merupakan anak dari Hartawan Mendako. Dan pada kehidupannya sekarang, ia telah melakukan banyak perbuatan berjasa untuk SasanaKu.”
(Akhir Cerita Yang Lampau)


“Para bhikkhu, demikianlah, putriku tidak bernyanyi, namun ia mengucapkan Ungkapan Mulia setelah ia melihat terpenuhinya keinginan yang dia harapkan.”
Ketika Beliau selesai berbicara, Guru membabarkan Dhamma, dengan berkata:
“Para bhikkhu, bagaikan dari timbunan bebrbagai macam bunga seorang ahli merangkai bunga dapat membuat semua macam untaian bunga, begitu pula dengan pikiran Visakha yang cenderung melakukan semua macam perbuatan baik.”
Setelah berkata demikian, Beliau mengucapkan syair berikut:

53. “Sama seperti dari timbunan bermacam-macam bunga dapat dibuat banyak untaian bunga, begitu pula seseorang yang hidup sebagai manusia yang tidak kekal harus melakukan banyak perbuatan baik.”

1 komentar: