Selasa, 16 Maret 2010

BHAGINEYYASANGHARAKKHITA

4. BHAGINEYYASANGHARAKKHITA
(Kemenakan Sangharakkhita Thera)


P
ikiran itu selalu mengembara jauh,....”
Uraian dhamma ini disampaikan oleh Guru ketika beliau tinggal di Savatthi berkenaan dengan Sangharakkhita.

Cerita dimulai dengan adanya seorang pemuda dari keluarga terhomat yang tnggal di Savatthi, setelah mendengar khotbah Guru, ia pabbajja (meninggalkan kehidupan berrumah-tangga) dan menjadi anggota sangha, melaksanakan semua tugasnya, maka dalam beberapa hari ia mencapai ke-arahat-an. Ia dikenal dengan nama Sangharakkhita Thera. Ketika adik perempuannya yang bungsu melahirkan anak, ia menamakannya sama dengan nama Thera, maka ia dikenal dengan nama Bhagineyya (kemenakan) Sangharakkhita. Ketika Bhagineyyasangharakkhita telah berusia cukup, ia menjadi anggota Sangha dibawah bimbingan Thera, setelah upasampada, ia tinggal selama masa vassa (musim hujan) di vihara desa tertentu. Menerima dua helai jubah seperti yang digunakan oleh para bhikkhu selama masa vassa, satu helai sepanjang 7 hasta, yang lain sepanjang 8 hasta; ia memutuskan memberikan jubah yang 8 hasta kepada upajjaya-nya sedangkan jubah yang 7 hasta untuk dirinya. Setelah ia menyelesaikan masa tinggalnya, ia pergi dengan tujuan untuk menemui upajjaya-nya dengan berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain sambil pindapata dalam perjalanannya.
Ia tiba di vihara sebelum Thera sampai. Memasuki vihara, ia membersihkan kuti (tempat tinggal atau kamar bhikkhu) Thera, menyiapkan air untuk cuci kaki, me-nyiapkan tempat duduk, memperhatikan jalan yang akan dilalui ketika Thera datang. Ketika ia melihat Thera datang, ia pergi menyambut beliau, mengambil patta dan jubah, dan mempersilahkan Thera untuk duduk dengan berkata:
“Silahkan duduk, bhante.”
Lalu ia mengambil kipas daun palem dan meng-ipasi beliau, memberikan air minum serta mencuci kaki beliau. Akhirnya ia mengeluarkan jubah, meletakkan di kaki Thera dan berkata:
“Bhante, mohon kenakanlah jubah ini.”
Setelah berkata begitu ia meneruskan mengipas Thera. Thera berkata kepada kemenakannya:
“Sangharakkhita, saya memiliki jubah yang komplit; engkau gunakanlah sendiri jubah ini.”
“Bhante, sejak saat saya menerima jubah ini, saya telah berniat memberikan jubah ini kepada bhante. Mohon terimalah.”
“Tidak apa-apa, Sangharakkhita, jubahku komplit, engkau gunakanlah sendiri jubah ini.”
“Bhante, mohon jangan menolak jubah ini, karena bilamana bhante mengenakannya, maka sangat besar jasa yang saya akan peroleh darinya.”
Walaupun bhikkhu muda ini mengulangi per-mohonannya beberapa kali, Thera menolak menerima jubah. Demikianlah, sementara bhikkhu muda berdiri dan mengipasi Thera, ia berpikir, “Ketika Thera masih orang biasa, saya adalah kemenakannya. Sejak ia menjadi bhikkhu, saya telah menjadi teman setempat tinggal. Namun, walaupun demikian ia tidak berkehendak sebagai upajjhayaku untuk berbagi milikku. Apabila ia tidak berkehendak untuk berbagi milikku denganku, untuk apa saya hidup sebagai bhikkhu? Saya akan menjadi umat berumah tangga lagi.”
Lalu pikiran berikut muncul di benaknya, “sulit untuk hidup sebagai perumah-tangga. Bilamana saya menjadi perumah-tangga kembali, bagaimana menunjang hidup?” Akhirnya pikiran berikut muncul dalam dirinya, “Saya akan menjual jubah 8 hasta ini dan membeli kambing betina. Sekarang ini kambing betina sangat subur, secepat kambing betina beranak, saya akan men-jual anak-anak kambing itu, maka dengan cara ini saya akan mengumpul modal. Segera setelah saya dapat mengumpul modal, saya akan beristri. Istriku akan melahirkan anakku, dan saya akan memberikan nama seperti nama pamanku. Saya akan membaringkan anakku ke dalam kereta, dan anak serta istri akan pergi bersama-ku mengunjungi pamanku. Dalam perjalanan saya akan berkata kepada istriku, ‘Berikan anak kepadaku; saya ingin membawanya.’ Ia akan menjawab, ‘Mengapa kau akan membawa putra ini? Ayo, dorong keretanya.’ Setelah berkata begitu istriku akan mengendong anak itu dan membawanya dengan berpikir, ‘Saya akan membawanya sendiri.” Namun karena kurang kuat mengendongnya, maka ia akan menjatuhkan anak ke jalan roda kereta, sehingga kereta melindasnya. Maka saya akan berkata kepada istriku, ‘Kau tidak mau memberi anakku untuk saya bawa, sedangkan kau sendiri tidak cukup kuat untuk mengendongnya. Kau telah merusak saya.’ Setelah berkata begitu, saya akan memukul punggungnya dengan tongkat.
Demikianlah bhikkhu muda merenung ketika ia sedang mengipasi Thera. Ketika ia selesai merenung, ia mengayunkan kipas daun palem dan menurunkannya mengenai kepala Thera.
Thera berpikir: “Mengapa Sangharakkhita memukul-ku di kepala?” Segera ia mengetahui semua rentetan pikiran kemenakannya, maka ia berkata kepadanya:
“Sangharakkhita, kau tidak berhasil memukul wanita; tetapi apakah yang telah dilakukan oleh Thera yang tua sehingga ia mendapat pukulan?”
Bhikkhu muda berpikir: “Oh, saya celaka! Nampaknya upajjhayaku mengetahui setiap pikiran yang muncul di benakku. Apakah gunanya saya hidup sebagai bhikkhu lagi?”
Segera ia melempar kipasnya dan mulai lari. Tetapi para bhikkhu baru dan para samanera mengejarnya, menangkapnya dan membawanya kepada Guru.
Ketika guru melihat para bhikkhu itu, beliau bertanya kepada mereka,
“Para bhikkhu, mengapa anda sekalian datang ke mari? Apakah anda menangkap seorang bhikkhu.”
“Ya, bhante. Bhikkhu muda ini menjadi kecewa dan lari, tetapi kami menangkapnya dan memba-wanya ke mari.”
“Bhikkhu, apakah yang mereka katakan benar?”
“Ya, bhante.”
“Bhikkhu, mengapa anda melakukan pelanggaran besar. Bukankah anda adalah anak Sang Buddha yang kekuatan kemauannya yang selalu aktif? Sekali telah meninggalkan kehidupan berumah-tangga ke dalam Buddha sasana seperti saya, dan walaupun anda gagal berusaha sendiri untuk mencapai Sotapanna, Sakadagami, Anagami atau Arahat, namun untuk itu semua, mengapa anda melakukan pelanggaran besar seperti ini?”
“Saya kecewa, bhante.”
“Mengapa anda kecewa?”
Ketika menjawab, bhikkhu muda menceritakan semua pengalamannya, sejak ia menerima jubah hingga saat ia memukul kepala Thera dengan kipas daun palem.
“Bhante, itulah sebabnya mengapa saya lari,” jawabnya.
Guru berkata:
“Mari, bhikkhu, jangan gelisah. Pikiran memiliki cara untuk berada pada banyak tempat yang jauh. Seseoang harus berusaha membebaskan pikiran dari keserakahan, kebencian dan kebodohan.”
Setelah berkata begitu, Beliau mengucapkan syair berikut:

37. “Pikiran itu selalu mengembara jauh, tidak memiliki wujud, dan terletak di dalam hati sanubari. Mereka yang dapat menaklukkannya akan bebas dari jeratan Mara.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar