Selasa, 16 Maret 2010

PUTIGATTA TISSATHERA

7. PUTIGATTA TISSATHERA


T
ak lama lagi tubuh ini akan terbujur ....”
Pembabaran dhamma ini disampaikan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan Putigatta Tissa Thera.

Guru mengajarkan dhamma kepada seorang pemuda yang tinggal di Savatthi, karena mengerti makna dhamma, maka ia meninggalkan kehidupan duniawi (pabbaja), setelah di-upasampada (ditahbis menjadi bhikkhu) ia dikenal dengan nama Tissa Thera. Setelah beberapa waktu kemudian muncul benjolan-benjolan pada tubuhnya. Pada mulanya benjolan itu hanya nampak seperti bintik-bintik kecil, namun setelah penyakitnya berkembang, benjolan itu menjadi besar seperti biji-biji kacang kedele, selanjutnya berkembang menjadi sebesar kacang merah, buah berri, emblic myrobalan, dan buah vilva. Akhirnya bejolan-benjolan itu pecah, sehingga seluruh tubuhnya diliputi oleh “luka terbuka” (putigatta).
Karena hal ini ia dipanggil Putigatta Tissa Thera. Tidak lama kemudian tulang-tulangnya mulai terpisah, dan tak seorang pun yang mau merawatnya. Jubah atas dan bawah miliknya, yang telah diliputi oleh darah, nampak bagaikan lapisan kue. Kawan-kawan setempat tinggal dengan dia, karena tidak dapat merawatnya, mengeluarkanya dan membaringkan dia di tanah tanpa ada yang menjaganya.
Biasanya Guru Buddha tidak pernah alpa untuk melihat dunia dua kali sehari. Pada waktu pagi sekali mereka melihat dunia, melihat dari ujung dunia ke arah Gandhakuti (tempat tinggal Buddha), memperhatikan semua yang mereka lihat. Pada waktu menjelang malam mereka melihat dunia, melihat mulai dari Gandhakuti ke luar. Pada waktu itu Putigatta Tissa Thera nampak dalam pandangan Bhagava. Guru mengetahui bahwa bhikkhu Tissa telah matang untuk mencapai kearahatan, berpikir: “Bhikkhu ini telah ditinggalkan oleh kawan-kawannya; pada saat sekarang ia tidak mempunyai pelindung selain saya.” Selanjutnya Guru keluar dari Gandhakuti, bagaikan akan berkeliling vihara, pergi ke ruangan perapian. Beliau mencuci tempat rebus air, menempat-kannya di atas tungku, menunggu di situ hingga air mendidih, ketika beliau mengetahui bahwa air telah panas, beliau pergi dan mengangkat ujung tempat tidur di mana bhikkhu (Tissa) berbaring.
Para bhikkhu berkata kepada Guru:
“Bhante, tidak usah, kami akan membawakan dia pada bhante.”
Setelah berkata begitu, mereka mengangkat tempat tidur dan membawa Tissa ke ruang perapian. Guru menyuruh mengambil sehelai kain dan memercikkannya dengan air panas. Kemudia beliau memerintahkan para bhikkhu untuk melepaskan jubah atas Tissa, mencucinya hingga bersih dengan air panas dan menjemurnya hingga kering. Lalu beliau berdiri di dekat Tissa, membasuh tubuhnya dengan air panas, menggosoknya dan meman-dikannya. Ketika ia selesai mandi, jubah atasnya telah kering. Guru menyuruh mengenakan jubah atasnya dan menyuruh jubah bawahnya untuk dicuci dengan air panas, dan menjemurnya. Sesegera air mengering ditubuhnya, jubah bawahnya telah kering pula. Dengan demikian Tissa mengenakan jubah kuningnya yang terdiri dari jubah atas dan jubah bawah, dan dengan tubuh yang segar dan pikiran tenang berbaring di tempat tidur. Guru berdiri di dekat bantal Tissa dan berkata kepadanya:

“Bhikkhu, kesadaranmu akan meninggalkamu, tubuhmu akan menjadi tak berguna, bagaikan batangan kayu, akan terbaring di tanah.”

Setelah berkata begitu, beliau mengucapkan syair berikut ini:

41. “Tak lama lagi tubuh ini terbujur kaku di atas tanah, terbengkalai, tanpa kesadaran, bagaikan batang kayu yang tak berguna.”

Pada akhir dari uraian dhamma, Putigatta Tissa Thera mencapai kearahatan dan parinibbana (meninggal). Guru melaksanakan upacara pengremasian jasadnya, mengambil reliknya dan menyuruh mendirikan sebuah cetiya.
Para bhikkhu bertanya kepada Guru:
“Bhante, ke mana Putigatta Tissa Thera terlahir kembali?”
“Para bhikkhu, ia telah parinibbana.”
“Bhante, bagaimana ini terjadi kepada bhikkhu seperti dia dapat menjadi arahat, namun ia menderita penyakit ditubuhnya? Mengapa tulang-tulangnya terpisah-pisah? Berdasarkan karma apa para kehidupannya yang lampau di memeliki kemampuan untuk menjadi arahat?“
“Para bhikkhu, semua hal ini terjadi semata-mata karena perbuatannya pada sebuah kehidupan yang lampau.”
“Bhante, apakah yang ia telah lakukan?”
“Para Bhikkhu, baiklah dengarkanlah.”

Cerita yang lampau:
Penangkap Burung yang Kejam

Pada masa kehidupan Buddha Kassapa, Tissa adalah seorang penangkap burung. Ia biasanya me-nangkap banyak burung, dan umumnya tangkapan ini ia serahkan ke istana. Sebagian besar burung-burung yang ia tidak serahkan ke istana ia jual. Khawatir bila ia mem-bunuh dan menyimpan burung-burung yang ia tidak jual akan menjadi busuk, dan untuk mencegah burung-burung yang ia telah tangkap tidak terbang, maka ia biasanya mematahkan tulang kaki dan tulang sayap, meletakkan mereka dalam tumpukan. Pada esoknya ia akan menjual burung-burung itu. Bila mana ia masih memiliki burung-burung, maka burung-burung itu di masaknya.
Pada suatu hari, setelah makanan yang enak telah dimasak untuknya, seorang bhikkhu arahat berdiri di dekat pintu rumahnya ketika sedang pindapatta. Ketika Tissa melihat bhikkhu itu, ia menenangkan pikirannya dan berpikir: “Saya telah membunuh banyak makhluk hidup dan memakannya. Seorang ariya bhikkhu sedang berdiri di dekat pintu rumahku, dalam rumahku ada banyak makanan enak. Sebaiknya saya memberikan dana kepadanya.” Maka ia mengambil patta bhikkhu itu dan mengisinya, dan setelah ia memberikan makanan, ia memberikan hormat dengan bernamaskara kepada bhikkhu dan berkata:
“Bhante, semoga saya mencapai hasil tertinggi dari dhamma yang telah dicapai, bhante.”
Sebagai kata anumoda (berbahagia karena melihat atau mengetahui orang lain berbuat kebajikan) bhikkhu berkata:
“Semoga demikian.”
Para bhikkhu, karena perbuatan bajik yang dilakukan Tissa maka hasil ini ia dapatkan. Karena ia me-matahkan tulang-tulang burung-burung, maka tubuhnya diliputi penyakit dan tulang-tulangnya terpisah. Juga, karena ia berdana makanan enak kepada arahat dan bertekad maka ia mencapai kearahatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar