Selasa, 16 Maret 2010

CHATAPANIUPASAKASSA-VATTHU

7. CHATAPANIUPASAKASSA-VATTHU


“B
agaikan sekuntum bunga yang indah ....”
Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi, berkenaan dengan upasaka Chattapani.
Di Savatthi ada seorang upasaka bernama Chattapani yang menguasai Tipitaka dan telah mencapai tingkat kesucian Sakadagami. Pada suatu pagi, ia melaksanakan uposatha, ia pergi menemui dan memberi hormat kepada Guru.
(Bagi para Sakadagami dan Ariya Puggala dan berdasarkan pada usaha yang lampau, mereka tidak menyatakan kewajiban melaksanakan uposatha sila (dengan memohon uposatha sila).
Mereka dengan kebajikan pencapaian ariya puggala, melaksanakan uposatha dan hanya makan sekali sehari. Itulah sebabnya Sang Bhagava berkata:
“Maharaja, Ghatikara tukang pembuat tembikar hanya makan sehari dan melaksanakan uposatha sila, perukan kebajikan dan benar” (M.N. ii.51).
Demikianlah sebagai suatui proses bagi para Sakadagami hanya makan sekali dan melaksanakan uposatha sila).
Begitu pula dengan Chattapani, melaksanakan uposatha sila, menemui Guru dan memberikan hormat kepadanya, lalu duduk di tempat yang tersedia dan mendengar Dhamma. Pada waktu itu Raja Pasenadi Kosala juga datang memberi hormat kepada Guru.
Ketika Chattapani melihat ia datang, ia berpikir: “Apakah saya harus berdiri untuk menemuinya atau tidak? Bilamana saya berdiri, maka raja mendapat kehormatan tetapi Guru tidak. Maka saya tidak akan berdiri.” Ia menyimpulkan: “Karena saya duduk di depan Raja dari segala Raja, saya tidak perlu berdiri untuk menemui raja sebagai penghormatan. Walaupun ia marah saya tidak akan berdiri. Karena bilamana melihat raja lalu saya berdiri, maka raja yang mendapat penghormatan, sedangkan Guru tidak. Maka saya tidak akan berdiri.” (Orang bijaksana tidak akan pernah marah bilamana melihat seseorang tidak berdiri, karena orang itu berada di depan orang yang lebih tinggi kedudukannya).
Ketika Raja Paenadi melihat Chattapani tidak berdiri, hatinya diliputi kemarahan. Namun ia tetap memberikan hormat kepada Guru dan duduk di tempat yang telah tersedia. Guru menyadari bahwa ia sedang marah, lalu berkata kepadanya:
“Maharaja, upasaka Chattapani adalah orang bijaksana, mengetahui Dhamma, menguasai Tipitaka, ia menerima dengan wajar penderitaan dan kesenangan.”
Beitulah Guru menerangkan kebaikan upasaka. Sementara raja mendengar keadaan upasaka, hatinya menjadi lunak.
Pada suatu hari setelah sarapan, raja sedang berdiri di lantai atas istananya, ia melihat upasaka Chattapani sedang berjalan di halaman istana dengan payung di tangan dan mengenaka sendal di kaki. Segera ia menyuruh seseorang untuk memanggil Chattapani agar ia menemuinya.
Chattapani meletakkan payung dan sandalnya ke samping, menemui raja, memberi hormat kepadanya, dan berdiri dengan hormat di samping. Raja berkata kepada Chattapani:
“Saudara, mengapa anda meletakkan sandal dan payung di samping?”
“Ketika saya mendengar: ‘Raja memanggil anda,’ saya segera meletakkan payung dan sandal saya dan datang menemui raja.’ “
“Jelaslah, hari ini anda telah nenyadari bahwa saya adalah raja.”
“Saya selalu menyadari bahwa tuanku adalah raja.”
“Jikalau hal itu benar, mengapa pada hari yang lalu, ketika anda duduk di depan Guru dan anda telah melihat saya, anda tidak berdiri?”
“Maharaja, ketika itu saya duduk di depan raja dari segala raja, bilamana setelah saya melihat raja yang hanya berkuasa di satu kerajaan lalu saya berdiri, maka saya menunjukkan sikap tidak menghormat kepada Guru. Itulah sebabnya saya tidak berdiri.”
“Baiklah, apa yang telah lewat telah berlalu. Saya mendapat informasi bahwa anda mengetahui dengan baik hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan pada pada sekarang ini dan kehidupan yang akan datang; juga anda menguasai Tipitaka. Ungkapkan dhamma di tempat tinggal para wanita kami.”
“Saya tidak dapat melakukannya, Maharaja.”
“Mengapa tidak.”
“Istana raja seharusnya sangat ketat dengan penjagaan.”
“Pantas dan tidak pantas adalah hal-hal yang sangat penting dalam hal ini, Maharaja.”
”Jangan berkata begitu. Pada hari yang lalu, ketika anda melihat saya, anda bersikap pantas untuk tidak berdiri. Jangan menghina menambah luka.”
“Maharaja, adalah tidak tepat bagi seorang awan melaksanakan tugas para bhikkhu. Undanglah seorang bhikkhu dan mintalah dia membabarkan Dhamma.”
Raja mengizinkan dia pergi dengan berkata:
“Baiklah, anda dapat pergi.”
Setelah melakukan hal itu, raja mengirimkan utusan kepada Guru dengan permohonan sebagai berikut:
“Bhante, permaisuriku Mallika dan Vasabha-khattiya mengatakan bahwa ‘Kami ingin mendengar dhamma dari Guru.’ Untuk itu mohon secara tetap Guru datang bersama 500 bhikkhu dan membabarkan Dhamma.”
Guru mengirimkan jawaban sebagai berikut:
“Maharaja, tidak mungkin seorang Buddha untuk datang secara tetap di satu tempat.”
“Bhante, bilamana demikian kirimkanlah beberapa bhikkhu.”
Guru menunjuk Ananda Thera untuk melaksana-kan tugas itu. Thera selalu datang secara tetap dan mengajarkan dhamma kepada para pemaisuri. Dari kedua permaisuru, Mallika belajar dengan baik, melatih diri dengan baik, dan meperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya. Sedangkan Vasabhakhattiya tidak belajar dengan baik, tidak melatih diri dengan baik, dan tidak memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya.
Pada suatu hari Guru bertanya kepada Ananda Thera:
“Ananda, apakah para upasika, siswi anda, telah menguasai dhamma?”
“Ya, Bhante.”
“Siapa yang telah belajar dengan baik?”
“Bhante, Mallika belajar dengan baik, melatih diri dengan baik, dan memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya. Sedangkan kerabat Guru tidak belajar dengan baik, tidak melatih diri dengan baik, dan tidak memperhatikan dengan baik apa yang diajarkan kepadanya.”
Ketika Guru telah mendengar jawaban Thera, beliau berkata:
“Ananda, sehubungan dhamma yang telah saya babarkan, bagi seseorang yang tidak dengan baik mendengar, belajar dan melatih diri serta memperhatikan Dhamma yang dibabarkan, maka hal itu tak berguna, bagaikan bunga yang memiliki warna namun tidak harum. Tetapi bagi seseorang yang dengan baik mendengar belajar dan melatih serta memperhatikan Dhamma yang dibabarkan, akan mendapat pahala yang berlimpah dan berbagai macam berkah.”
Setelah berkata demikian, beliau menyatakan syair yang berikut:

51. “Bagaikan sekuntum bunga yang indah tetapi tidak berbau harum; demikian pula akan tidak bermanfaat, kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang tidak melaksanakannya.”
52. “Bagaikan sekuntum bunga yang indah dan berbau harum demikian pula akan bermanfaat kata-kata mutiara yang di-ucapkan oleh orang yang melaksanakan-nya.”

Pada akhir dari uaraian dhamma, banyak orang menjadi Sotapanna, Sakadagami dan Anagami. Uraian dhamma ini sangat bermanfaat bagi banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar