Selasa, 16 Maret 2010

SOREYYA TTHERA VATTHU

9. SOREYYA TTHERA VATTHU


“B
ukan ibu maupun bukan ayah ....”
Uraian dhamma ini disampaikan Guru ketika beliau tinggal di Jetavana, di Savatthi, berkenaan dengan bendahara, Soreyya Thera. Cerita ini di mulai dari kota Soreyya dan berakhir di Savatthi.
Ketika Sammasambuddha tinggal di Savatthi, sedangkan kejadian ini terjadi di kota Soreyya: Seorang anak bendahara bernama Soreyya, disertai seorang sahabat karib duduk dalam kereta, bersama sejumlah besar teman, keluar kota untuk mandi. Pada saat itu Maha Kaccayana Thera, berniat memasuki kota Soreyya untuk pindapata, sedang mengenakan jubahnya di luar gerbang kota. Ketika putra bendahara Soreyya melihat tubuh keemasan dari Thera, ia berpikir: “Oh, itulah dia yang dapat menjadi istriku! Semoga penampilan tubuh istriku seperti penampilan tubuhnya?”
Segera setelah pikiran seperti ini muncul dalam pikiran Soreyya, ia berubah dari seorang pria menjadi perempuan. Ia turun dari kereta karena diliputi rasa malu dan melarikan diri. Teman-temannya tidak mengerti apa yang telah terjadi, berkata:
“Ada apa? Ada apa?”
Soreyya, yang telah berubah menjadi perempuan, berjalan menuju Takkasila. Temannya sekereta mencari dia di berbagai tempat, tetapi tidak menemukannya. Setelah semua rombongan selesai mandi, mereka pulang. Mereka ditanya:
“Dimana anak bendahara?”
Mereka menjawab:
“Kami kira setelah mandi ia telah pulang.”
Ayah dan ibunya mencarinya di berbagai tempat, tetapi tidak menemukannya, berdukacita dan menangis. Karena menyimpulkan bahwa ia telah meninggal, maka mereka melaksanakan upacara kematian.
Sekarang sebagai seorang wanita, Soreyya melihat seorang pemimpin kafilah yang menuju ke Takkasila, lalu mengikuti di belakang keretanya. Anggota kafilah mem-perhatikannya dan bertanya:
“Ia mengikuti terus kereta jkita, tetapi kita tidak tahu dia putri siapa?”
Soreyya menjawab:
“Tuan-tuan, jalankan terus kereta anda. Saya akan mengikuti dengan berjalan.”
Setelah ia berjalan cukup jauh, ia menyogok para pemimpin kafilah dengan memberikan cincin agar ia mendapat tempat duduk dalam salah satu kereta. Orang-orang rombongan kafilah berpikir: “Putra bendahara kita, yang tinggal di kota Takkasila, belum maempunyai istri. Kami akan memberitahukan kepadanya mengenai wanita ini, maka ia akan memerikan ita hadiah yang menarik.” Demikianlah ketika mereka tiba di Takkasila, mereka pergi menemui dan berkata kepadanya:
“Tuan, kami telah membawakanmu seorang permata wanita.”
Ketika putra bendahara mendengar hal ini, ia menyuruh memanggilnya (Soreyya). Setelah memper-hatikannya bahwa ia cocok usianya dan sangat cantik, ia jatuh cinta dan mengawininya.
(Sebab, pada suatu waktu (di antara banyak kehidupan yang lampau) tidak ada seorang pria pun yang tidak pernah terlahir sebagai wanita; begitu pula sebaliknya dengan wanita. (Sehubungan dengan hal ini dapat kita baca cerita tentang tujuh kehidupan Ruja dalam Jataka 544: vi. 236 – 240). Sebagai contoh, pria yang berselingkuh dengan isteri orang lain, setelah kematiannya ia terlahir kembali menderita di alam neraka selama 100.000 tahun, selanjutnya meninggal dari alam neraka dan terlahir kembali sebagai wanita selama 100 kali berturut-turut. Begitu pula dengan Ananda Thera sebagai seorang ariya puggala, pada kehidupan-kehidupan yang lampau berusaha mengembang-kan paramita-paramita selama 100.000 kappa, pernah terlahir sebagai seorang tukang besi melakukan selingkuh dengan istri orang lain. Sebagai akibat (setelah meninggal) ia terlahir kembali menderita di alam neraka, selanjutnya karena buah dari perbuatan buruknya belum habis, ia selama 14 kali kehidupan menjadi istri para pria, dan terlahir kembali sebanyak 7 kali selama akibat karma buruknya belum habis. Sebalinya, bagi wanita yang memberikan dana dan melakukan perbuatan bajik, dan bertekad untuk tidak terlahir kembali sebagai wanita, dengan menyatakan : ”Semoga berdasarkan kebajikan ini, saya terlahir kembali sebagai pria,” dengan demikian ia dapat terlahir kembali sebagai pria setelah kematiannya. Tetapi, anak bendahara ini, karena tidak bijaksana berpikir seperti itu terhadap Thera, sehingga pada kehidupan ini ia berubah menjadi wanita.)

Demikianlah, putra bendahara Soreyya berubah menjadi wanita, kawin dengan putra bendahara Takkasila, dan sebagai hasil perkawinan mereka, ia hamil. Setelah 10 bulan (lunar kalender) berselang, ia melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika anak ini sudah dapat berjalan, ia melahirkan anak laki-laki lagi.
Jadi Soreyya, yang sebagai ayah memiliki dua orang anak laki-laki di kota Soreyya, menjadi ibu dari dua anak laki-laki di Takkasila, maka anaknya ada 4 orang.
Pada suatu hari sahabat karib sekereta anak bendahara Soreyya melakukan perjalanan dari kota Soreyya dengan 500 kereta tiba di Takkasila, ia memsuki kota dengan duduk di kereta. Pada saat itu, wanita Soreyya berdiri di dekat jendela ditingkat atas dari istananya, melihat ke jalan. Segera setelah Soreyya melihatnya, Soreyya mengenal sahabat karibnya itu, ia menyuruh seorang pembantu wanita untuk mengundang menemuinya, menyediakan tempat duduk di ruangan besar istananya, dan memberikan pelayanan yang baik kepadanya. Tamu berkata kepada nyonya rumah:
“Nyonya, saya tidak pernah bertemu dengan anda. Tetapi anda sangat baik kepada saya. Apakah anda mengenal saya?”
“Ya, tuan, saya mengenalmu dengan baik. Apakah anda tinggal di kota Soreyya?”
“Ya, nyonya.”
Lalu nyonya rumah menanyak keadaan dari ayah, ibunya serta istri dan anak-anaknya.
“Mereka dalam keadaan yang baik,” jawab tamu, dan kemudian bertanya:
“Apakah nyonya mengenal mereka?”
“Ya, tuan. Saya mengenal mereka dengan baik dan mereka memiliki seorang putra. Bagaimana dengan dia?”
“Nyonya, saya mohon tidak membicarakan tentang dia. Karena pada suatu hari, selagi kami duduk bersama di dalam kereta, sedang menuju ke luar kota untuk mandi, namun tiba-tiba ia menghilang. Tidak seorang pun di antara kami yang menge-tahui ke mana ia pergi atau apa yang terjadi dengannya. Kami mencarinya ke mana-mana, tetapi gagal menemukannya. Akhirnya kami melaporkan hal ini kepada orang tuanya, akibatnya mereka sedih dan menangis serta melaksanakan upacara kematian.”
“Tuanku, sayalah dia.”
“Tidak mungkin, nyonya. Apa yang anda katakan? Dia sahabat karibku, ia bagaikan dewa yang rupawan, dia seorang laki-laki.”
“Tuan, bagaimana pun, saya adalah dia, sama saja.”
“Bagaimana penjelasannya”, tanya tamu.
“Apakah anda ingat melihat Maha Kaccayana Thera pada hari itu?” tanya nyonya rumah.
“Ya, saya ingat melihat beliau.”
“Baiklah, ketika saya melihat yang ariya Maha Kaccayana Thera, saya berpikir:
“Oh. Itulah dia yang dapat menjadi istriku. Semoga penampilan tubuh istriku seperti penampilan tubuhnya. Segera setelah pikiranku seperti itu, saya berubah dari pria menjadi wanita. Oh tuan, saya sangat malu sehingga saya tidak dapat bicara kepada siapa pun. Maka saya lari dan tiba di sini.”
“Oh, kesalahan berat apa yang telah anda lakukan. Mengapa anda tidak mengatakan kepadaku? Apakah anda telah memohon maaf kepada Thera?”
“Tidak, tuan. Saya tidak memohon maaf kepada beliau. Tetapi apakah anda tahu di mana Thera berada?”
“Beliau tinggal tidak jauh dari kota ini.”
“Mungkinkah ia dapat kemari, tuan. Saya ingin memberikan dana kepada yang ariya Thera.”
“Baiklah, segera persiapkan untuk beliau, saya akan mengusahakan agar yang ariya Thera memaafkanmu.”
Begitulah, sahabat karib sekereta Soreyya pergi ke tempat tinggal Thera, menghormat beliau, duduk dengan sopan pada tempat yang telah tersedia, lalu nerkata kepada beliau:
“Bhante, mohon terima dana saya besok.”
Thera menjawab:
“Anak bendahara, bukankah anda pengunjung di sini?”
“Bhante, mohon tidak menanyakan apakah saya pengunjung di sini atau bukan. Mohon terimalah dana saya besok.”
Thera menerima undangan itu, sementara itu banyak persiapan telah disiapkan di rumah untuk Thera. Pada keesokannya Thera datang dan berdiri di depan pintu rumah itu. Anak bendahara mempersilahkan Thera duduk dan melayani beliau dengan makanan terpilih. Kemudian mengajak wanita itu, menyuruhnya bernamaskara kepada Thera dan berkata:
“Bhante, mohon maafkan temanku.”
Thera kertanya:
“Mengapa?”
Putra bendahara berkata:
“Bhante, dulu wanita ini adalah pria teman baikku. Namun pada suatu hari ia melihat bhante dan berpikir ini dan itu, akibatnya ia berubah dari pria menjadi wanita.”
Segera setalah Thera mengucapkan kata-kata, ‘saya memaafkan anda’, Soreyya berubah dari wanita menjadi pria. Setelah ia berubah kembali menjadi pria, putra bendahara Takkasila (suaminya) berkata kepadanya:
“Sahabat baikku, karena anda adalah ibu dari dua anak ini dan saya adalah ayah mereka, mereka sesungguhnya adalah putra-putra kita berdua. Maka kita dapat hidup terusa bersama di rumah ini”.
“Jangan khawatir.” Soreyya menjawab:
“Sahabatku, saya telah mengalami dua perubahan dalam satu kehidupan. Pertama saya adalah pria, kemudian menjadi wanita, dan sekarang saya menjadi pria kembali. Dulu saya menjadi ayah dari dua orang putra, baru saja saya menjadi ibu dari dua orang putra. Jangan berpikir begitu, setelah mengalami dua perubahan diri dalam satu kehidupan, saya tidak akan hidup sebagai orang biasa lagi. Saya akan menjadi bhikkhu di bawah bimbingan yang ariya Thera. Itu tugas anda untuk memelihara kedua anak ini. Jangan biarkan mereka.”
Setelah berkata seperti itu, Soreyya mencium kedua anak itu serta memeluk mereka, dan menyerahkan kedua anak itu kepada ayah mereka, meninggalkan rumah dan menjadi bhikkhu di bawah bimbingan Thera. Thera menerima Soreyya ke dalam sangha dengan me-nahbiskannya menjadi bhikkhu, kemudian membawa bersamanya pergi ke Savatthi, dan akhirnya tiba di kota itu. Selanjutnya ia dikenal sebagai Soreyya Thera.
Ketika para penduduk mengetahui apa yang telah terjadi, mereka sangat terpengaruh dan tertarik. Mereka mendatangi Soreyya Thera dan bertanya:
“Bhante apakah kabar yang tersiar benar?”
“Ya, saudara-saudara.”
“Bhante, persoalannya begini: ‘Disebutkan bahwa anda menjadi ibu dari dua orang anak dan ayah dari dua orang anak. Pasangan mana yang lebih anda cintai?’”
“Pasangan ketika saya sebagai ibu.”
Semua orang pada dasarnya menanyakan hal yang sama kepada Thera, begitu pula dengan Thera selalu menjawab:
“Saya lebih mencintai pasangan ketika saya sebagai ibu.”
Karena hal itu maka Thera menghindarkan diri dari keramaian; bilamana ia duduk, ia duduk sendirian; bilamana ia berdiri, ia berdiri sendirian. Setelah men-dapatkan ketenangan seperti itu, ia dengan teguh berpikiran kelapukan (perubahan) dan kematian, akhirnya mencapai kearahatan, bersama parisambhida. Selanjutnya banyak orang yang datang menemui beliau serta bertanya:
“Bhante, apakah kabar yang tersiar benar?”
“Apa-kah kabar itu benar.”
“Ya, saudara-saudara.”
“Pasangan mana yang lebih anda cintai?”
”Cinta kasihku tidak kepada yang mana pun.”
Maka para bhikkhu melapor kepada Guru:
“Bhikkhu ini berkata bohong. Pada waktu yang lalu ia selalu berkata: ‘Saya lebih mencintai pasangan ketika saya sebagai ibu.’ Namun sekarang ia berkata: ‘Cinta kasihku tidak kepada yang mana pun.’ Bhante, ia berdusta.”
Guru berkata:
“Para bhikkhu, putraku tidak berdusta. Pikiran putraku telah diarahkan dengan benar sejak ia memapaki Jalan. Bukan ibu maupun bukan ayah yang dapat menghalangi manfaat dari orang yang pikirannya telah diarahkannya sendiri yang menghalangi mangkhluk-makhluk hidup. Setelah berkata begitu, beliayu mengucapkan syair berikut:


43. “Bukan ibu maupun bukan ayah, juga bukan sanak keluarga yang dapat me-lakukan hal ini, karena pikiran yang terarah dengan dengan baik yang dapat melakukannya jauh lebih baik.:”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar