Selasa, 16 Maret 2010

PATIPUJIKAYA-VATTHU

4. PATIPUJIKAYA-VATTHU


“W
alaupun seseorang sedang mengumpul bunga ....” Uraian dhamma ini dibabarkan Guru ketika beliau tinggal di Savatthi, berkenaan dengan seorang wanita bernama Patipujika (pemuja suami). Ceritanya dimulai di alam Tavatimsa.
Tesebutlah ada sesosok dewa bernama Malabhari disertai 1.000 dewi masuk ke taman kesenangan di alam dewa Tavatimsa. Lima ratus dari para dewi ini memanjat pohon dan melempar bebungaan ke bawah; 500 dewi yang lain mengumpul bunga yang jatuh dan mengena-kannya kepada dewa. Salah sesosok dewi dari para dewi ini, selagi ia duduk di cabang sebuah pohon, ia meninggal dari alam ini, tubuhnya lenyap seperti nyala lampu, dan masuk dalam kandungan pada sebuah keluarga di Savatthi. Kemudian lahir dengan dapat mengingat kembali kehidupannya yang lalu, dan ingat bahwa ia adalah istri dari dewa Malabhari. Ketika ia tumbuh menjadi remaja ia melaksanakan puja bhakti dengan wewangian dan bebungaan, dan membuat tekad utuk terlahir kembali bersama suaminya.
Ketika ia berusia 16 tahun, ia kawin dengan seorang pria dari keluarga lain. Kapan pun, bilamana ia memberikan dana makanan (pindapata) pada hari tertentu, pada setiap dua minggu atau pada musim vassa, ia akan berkata: “Semoga dana ini membantu saya untuk terlahir kembali bersama suamiku yang dulu.”
Para bhikkhu berkata:
“Wanita ini, walaupun selalu sibuk dan aktif, hanya merindukan suaminya.”
Karena itu mereka menamakannya Patipujika (pemuja suami). Secara tetap ia mengurus ruangan pertemuan (Asanasala) dengan menyiapkan air minum, dan menyediakan tempat duduk bagi para bhikkhu. Bilamana ada orang yag ingin mendanakan makanan setiap hari atau setiap dua minggu, mereka akan mem-bawa makanan itu dan menyerahkannya kepadanya, dengan berkata:
“Nyonya, tolong berikan ini kepada bhikkhu sangha.”
Dengan melakukan hal-hal ini ia sekali gus mendapat 56 Kusaladhamma. Ia hamil dan pada akhir 10 bulan lunar ia melahirkan seorang putra; ketika putranya telah dapat berjalan, ia melahirkan seorang putra pula, kemudian yang lain, sehingga ia memiliki 4 putra.
Pada suatu hari ia memberikan dana, memberikan hormat kepada para bhikkhu, mendengar dhamma serta melaksanakan sila, namun pada akhir dari hari itu ia meninggal karena sakit yang tiba-tiba, dan terlahir kembali bersama suaminya yang lampau. Selama waktu itu para dewi yang lain sedang mengenakan bunga kepada dewa. Ketika dewa Malabhari melihatnya, ia berkata:
“Kami tidak melihatmu sejak pagi. Ke mana saja anda?”
“Saya meninggal dari kehidupan ini, suamiku.”
“Apa yang anda katakan?”
“Seperti itulah, suamiku.”
“Di mana anda terlahir kembali?”
“Pada sebuah keluarga yang tinggal di Savatthi.”
“Berapa lama anda berada di sana?”
“Pada akhir 10 bulan lunar saya lahir dari kandungan ibuku. Ketika saya berusia 16 tahun, saya kawin dengan seorang pria dari keluarga lain. Saya melahirkan 4 putra, memberikan dana-dana makanan, memberikan hormat kepada bhikkhu, membuat tekad kuat untuk terlahir kembali bersamamu, suamiku.”
“Berapa panjang usia manusia?”
“Hanya 100 tahun.”
“Begitu pendek seperti itu?”
“Ya, suamiku.”
“Bilamana manusia terlahir kembali dan hidup begitu pendek usianya, apakah mereka hidup tidur dan tidak waspada atau mereka memberi dana-dana dan memberikan hormat?”
“Apa yang anda katakan, suamiku? Manusia selalu tidak waspada, bagaikan ia akan hidup selama satu kappa, atau bagaikan ia tidak akan diliputi usia tua atau kematian.”
Dewa Malabhari sangat terpengaruh. Ia berkata:
“Bilamana, seperti yang anda katakan bahwa manusia terlahir kembali dengan hidup 100 tahun, dan mereka hidup tidak waspada dan tidur, maka kapan mereka akan terbebas dari penderitaan?”
(Sementara itu, 100 tahun manusia adalah sama dengan se hari semalam alam dewa Tavatimsa, 30 hari seperti itu adalah satu bulan, 12 bulan adalah satu tahun, dan panjang kehidupan alam dewa Tavatimsa adalah 1.000 tahun surgawi, atau dalam tahun manusia itu sama dengan 36 juta tahun. Sehingga kehidupan dewi didunia ini bagi alam dewa adalah itu belum satu hari; juga belum sesaat. Itulah sebabnya ia (Dewa Malabhari) berpikir: “Bilamana kehidupan manusia begitu pendek, maka tidak tepat bagi mereka untuk hidup tidak waspada.”)
Pada keesokan harinya ketika para bhikkhu masuk ke dalam desa, menemukan Ruangan Pertemuan tidak rapi, tempat duduk tidak siap, dan air minum tidak tersedia.
“Patipujika pergi ke mana?” tanya mereka.
“Para bhante, bagaimana anda sekalian berharap untuk melihatnya? Kemarin sore, stelah beberapa lama anda sekalian makan, ia meninggal.”
Demikianlah, bagi para bhikkhu yang belum mencapai Sotapana, mengenang kebaikan pelayan-annya, tak dapat menahan linangan air mata; sedangkan para bhikkhu yang telah mencapai ke-arahat-an diliputi dengan perasaan religius.
Setelah mereka selesai sarapan, mereka pergi ke vihara dan bertanya kepada Guru:
“Bhante, Patipujika sangat sibuk dan aktif, selalu melakukan semua perbuatan baikdan berkehendak untuk terlahir kembali dengan suaminya yang lampau. Di mana ia terlahir kembali?”
“Para bhikkhu, ia telah terlahir kembali bersama suaminya yang lampau.”
“Bhante, tetapi ia tidak mati bersama suaminya.”
“Para bhikkhu, ia tidak berkehendak dengan suaminya yang itu. Suami yang dimaksudnya adalah Dewa Malabhari di alam dewa Tavatimsa. Ia meninggal dari alam itu ketika ia sedang mengenakan bunga-bungaan kepadanya. Sekarang ia telah kembali di mana ia berada sebelumnya dan telah terlahir kembali bersamanya.”
“Bhante, betapa pendeknya usia kehidupan makhluk di dunia ini! Di pagi hari ia melayani kami dengan makanan, di waktu sore ia sakit dan meninggal.”
Guru menjawab:
“Para bhikkhu, ya. Kehidupan makhluk di dunia ini memang sangat pendek. Itulah sebabnya, sementara para makhluk di dunia ini meng-inginkan hal-hal di dunia ini dan belum memuas-kan nafsu keinginan mereka, kematian mengalah-kan mereka dan membawa mereka ke dalam ratap dan tangis.”
Setelah berkata demikian, beliau mengucapkan syair berikut:

48 “Walaupun seseorang sedang mengunpul bunga-bungaan, dengan pikiran kacau dan tak pernah puas, ia akan di bawah kekuasaan sang penghancur.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar