Selasa, 16 Maret 2010

MAHAKASSAPATTHERA

10. MAHAKASSAPATTHERA
PINDAPATADINNA - VATTHU
Deva Sakka Memberi Dana Kepada Maha Kassapa Thera




“T
ak seberapa harumnya bunga melati ....” Dhamma desana ini dibabarkan Guru ketika Beliau tinggal di Veluvana, sehubungan dengan dana makanan kepada Maha Kassapa Thera.

Pada suatu hari Maha Kassapa Thera bangkit dari meditasi nirodha samapati yang berlangsung selama tujuh hari, dan pergi dengan niat untuk berpindapata di Rajagaha.
Pada saat yang sama 500 dewi berkaki ungu yang merupakan para istri Dewa Sakka, Raja para dewa, sibuk menyediakan 500 (bagian) dana, dengan maksud memberikan dana makanan kepada Thera. Mereka membawa dana, mereka berhenti di jalan dan berkata kepada Thera:
“Bhante, terimalah dana-dana ini; berikanlah kami kesempatan.”
Thera menjawab:
“Pergilah, kalian semua. Saya bermaksud memberikan kesempatan kepada orang miskin.”
“Bhante, jangan hancurkan kami; berilah kami kesempatan.’ Tetapi Thera mengetahui mereka dan menolak lagi. Ketika mereka mempertunjukkan sikap tidak bersedia untuk pergi dan tetap mengajukan permohonan mereka, Thera berkata:
“Anda sekalian tidak tahu diri. pergilah!”
Setelah berkata begitu, Beliau ‘memetik jari’ ke arah mereka.
Ketika para dewi mendengar suara ‘petikan jari’ Thera, mereka tidak dapat mempertahankan ketenangan mereka, dan karena tidak berani tinggal di situ, mereka lari dan kembali ke Alam Dewa. Sakka berkata:
“Anda sekalian dari mana?”
“Tuan, kami ke luar, dengan berkeinginan: ‘Kami sekalian akan memberikan dana makanan kepada Thera yang baru selesai dan bangkit dari meditasi.’”
“Tetapi apakah anda sekalian berhasil memberikan dana atau tidak?”
“Beliau menolak menerima dana kami.”
“Apa yang Beliau katakan?”
“Ia berkata: ‘Saya berkeinginan memberikan kesempatan kepada orang miskin.’”
“Dengan cara apa anda sekalian pergi?”
“Dengan cara begini, Tuan.”
“Mengapa yang seperti anda sekalian ini memohon kesempatan untuk memberi dana kepada Thera?” jawab Sakka.
Dewa Sakka sendiri ingin memberikan dana makanan kepada Thera. Maka ia menyamar seperti seorang tua renta pemintal yang patah gigi, berambut putih, dan badan yang bongkok. Dan merubah Dewi Suja menjadi wanita tua, dengan kekuatan batin ia menciptakan alat pemintal, lalu ia duduk memintal benang.
Thera berjalan ke arah kota, dengan berpikir: “Saya akan memberikan kesempatan kepada keluarga miskin.” Sementara ia melihat jalan ini yang terletak di luar kota , ia melihat sekeliling dan tertampak ke dua orang ini. Pada saat itu, Dewa Sakka sedang memintal benang, sedangkan Dewi Suja sedang memberi mengatur bagian alat pemintal. Thera berpikir: “Dua orang ini melakukan pekerjaan biasa pada usia tua; tidak diragukan lagi di kota ini ada orang yang lebih miskin dari mereka berdua. Bilamana mereka memberikan sesendok nasi sekali pun kepada saya, saya akan menerimanya dan memberikan “kemurahan hati’ kepada mereka.” Selanjutnya Beliau pergi kepada mereka.
Ketika Dewa Sakka melihat beliau datang, ia berkata kepada Dewi Suja:
“Istriku, Thera sedang datang ke mari. Berpura-puralah tidak melihat beliau; tenang dan duduk. Segera kita akan menipunya dan memberinya dana makanan.”
Thera mendekat dan berdiri di dekat pintu rumah. Tetapi mereka berpura-pura tidak melihat Thera, melanjutkan pekerjaan mereka seolah-olah tidak ada apa-apa, dan memanfaatkan waktu mereka. Kemudian Dewa Sakka berkata:
“Saya kira ada seorang Thera yang berdiri di dekat pintu. Pergi lihatlah.”
Dewi Suja menjawab:
“Suamiku, anda pergi lihat sendiri.”
Sakka keluar rumah, menghormat Thera dengan bernamaskara, meletakkan tangannya di kedua lututnya lalu menangis. Kemudian menegakkan badannya, lalu berkata:
“Thera siapakah anda?”
Ia mundur sedikit dan berkata:
“Mataku mulai kabur.”
Lalu ia menampakan tangannya di dahi, dan berkata:
“Aduh! Aduh! Telah lama, telah lama sekali Maha Kassapa Thera kami datang ke pintu pondok kami. Apakah ada sesuatu di rumah?”
Dewi Suja berlagak malu-malu, namun dengan segera menjawab:
“Ya, suamiku, ada.”
Dewa Sakka mengambil patta Thera, dan berkata: “Bhante, jangan perhatikan makanannya kasar atau tidak, tetapi berbaik hatilah kepada kami.”
Selagi Thera memberikan patta, ia berpikir: “Bukan soal apakah mereka memberiku nasi kasar sebe-langa atau segenggam, saya akan menerimanya dan memberikan kesempatan kepada mereka.”
Dewa Sakka masuk ke rumah, mengambil nasi dari belanga, mengisi patta dan mengembalikannya ke tangan Thera.
Segera dana makanan ini yang karena banyak dibumbui dengan berbagai saus dan kari, bau harumnya memenuhi kota Rajagaha. Maka Thera berpikir: “Orang ini lemah, namun dana makanannya hebat seperti makanan Dewa Sakka. Siapakah orang ini?”
Karena menyadari bahwa ia adalah Dewa Sakka, Thera berkata:
“Anda telah melakukan perbuatan sangat salah karena tidak memberikan kesempatan kepada orang miskin untuk mendapat pahala (punna), orang miskin manapun dapat menjadi panglima perang atau bendahara.”
“Apakah ada orang yang lebih miskin daripada saya. Bhante?”
“Bagaimana mungkin anda miskin, anda menikmati kemegahan kekuasaan di alam para dewa?”
“Bhante, ini keterangannya. Sebelum Sang Buddha muncul di dunia saya melakukan perbuatan berjasa (punna). Ketika Sang Buddha muncul di dunia, tiga Dewa yang mempunyai kedudukan yang sama muncul, namun karena perbuatan berpahala, mereka mempunyai kemegahan yang lebih daripada saya. Ketika para dewa ini berkata kepada saya: ‘


56. Tak seberapa harumnya bunga melati dan kayu cendana; jauh lebih harum mereka yang memiliki sila (kebajikan), nama harum mereka tersebar di antara para dewa di surga.


57. Mereka yang sempurna tingkah lakunya, selalu penuh kesadaran, terbebas dari noda; jejak para orang suci ini tidak dapat diikuti oleh Dewa Kematian (Mara).
58. Seperti bunga teratai yang tumbuh di atas tumpukan sampah yang dibuang di tepi jalan raya, indah, harum serta menimbul-kan perasaan senang.

Demikian pula siswa Sang Buddha bersinar karena kebijaksa naannya, di antara para manusia yang hidup tertutup oleh kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar