Selasa, 16 Maret 2010

CITTAHATTHA THERA

5. CITTAHATTHA THERA


O
rang yang pikirannya tidak teguh, ....”
Pembabaran dhamma ini disampaikan oleh guru ketika beliau tinggal di Savatthi sehubungan dengan Cittahatta Thera.
Cerita dimulai ketika seorang pemuda dari keluarga terhormat yang tinggal di Savatthi, pergi ke hutan untuk mencari seekor sapi jantan yang hilang. Di tengah hari ia melihat sapi dan membebaskan binatang itu, namun karena ia kelaparan dan kehausan, ia berpikir: “Saya pasti akan dapat makanan dari para bhikkhu.” Maka ia masuk ke vihara, menemui para bhikkhu, menghormat mereka, dan berdiri di samping. Pada waktu itu makanan sisa yang ditinggalkan setelah para bhikkhu makan berada dalam bejana untuk dijadikan sampah. Ketika para bhikkhu melihat pemuda itu, kehabisan tenaga karena lapar, mereka berkata kepadanya:
“Ini makanan, ambil dan makanlah.”
(Ketika Sang Buddha ada di dunia, selalu ada banyak bubur dengan berbagai saus dan kari.) Maka pemuda itu mengambil dan makan sebanyak makanan yang dibutuhkannya dan minum, mencuci tangannya, lalu ia menghormat kepada para bhikkhu dan bertanya kepada mereka:
“Bhante, apakah anda sekalian pergi ke rumah karena undangan pada hari ini?”
“Tidak upasaka; para bhikkhu selalu menerima makanan dengan cara ini.”
Pemuda itu berpikir: “Bagaimana pun kita sibuk dan aktif, walaupun kita bekerja terus menerus siang dan malam, kami tidak pernah mendapat bubur yang begitu enak bersaus. Namun para bhikkhu ini, sesuai dengan pernyataan mereka sendiri, memakannya terus menerus. Mengapa saya tetap hidup sebagai orang awam? Saya akan menjadi bhikkhu.”
Selanjutnya ia menemui para bhikkhu dan memohon untuk diterima ke dalam sangha. Para bhikkhu berkata kepadanya:
“Amat baik, upasaka,”
Para bhikkhu menerimanya ke dalam sangha. Setelah selesai diupasampada (ditahbiskan) sebagai bhikkhu, ia melaksanakan semua tugas besar maupun kecil; dalam beberapa hari saja, karena dapat bagian dalam banyak dana yang muncul sebab para Buddha, ia menjadi gemuk dan berselera bagus.
Kemudian ia berpikir: “Mengapa saya hidup dari makanan yang didapat karena pindapata? Saya akan menjadi umat awam kembali.”
Ia pulang dan tinggal di rumahnya. Hanya beberapa hari saja setelah berkerja di rumahnya, tubuhnya menjadi lemah. Karenanya itu ia berpikir: “Mengapa saya harus menderita terlalu lama? Saya akan menjadi bhikkhu.”
Maka ia kembali dan menjadi bhikkhu lagi. Tetapi setelah hidup beberapa hari sebagai bhikkhu, ia menjadi kecewa kembali, maka ia meningggalkan kehidupan kebhikkhuan. Ketika ia sebagai bhikkhu, ia sangat membantu para bhikkhu yang lain. Setelah beberapa hari kemudian ia menjadi kecewa kembali dan berkata pada dirinya sendiri: “Mengapa saya hidup sebagai umat awam lebih lama lagi? Saya akan menjadi bhikkhu.”
Setelah berkata seperti itu, ia pergi menemui para bhikkhu, memberikan hormat, dan memohon agar ia diterima ke dalam sangha. Karena ia telah membantu mereka, para bhikkhu menerimanya ke dalam sangha sekali lagi. Dengan cara ini ia telah memasuki dan keluar sangha sebanyak 6 kali berturut-turut. Para bhikkhu saling berkata:
“Orang ini hidup dipengaruhi oleh pikirannya.”
Maka mereka menamakannya Dikontrol Pikiran, Cittahattha Thera.
Selagi ia masuk keluar sangha, istrinya menjadi hamil. Pada ketujuh kali (sebagai umat awam) ia kembali dari kebun dengan peralatan pertanian ia pulang ke rumah, ia meletakkan peralatan itu dan ia masuk ke rumah, sembari berkata pada dirinya sendiri: “Saya akan mengenakan jubah kuning lagi.” Ketika itu istrinya sedang tertidur di tempat tidur. Pakaian bawahnya terjatuh, air liurnya mengalir dari mulutnya, mendeng-kur, mulutnya ternganga lebar; istrinya nampak seperti mayat membengkak baginya. Ia berpendapat: “Segala sesuatu di dunia ini adalah tidak kekal (anicca) dan diliputi penderitaan (dukkha),” ia berkata pada dirinya sendiri: “Pikir, bahwa karena dia, maka selama saya menjadi bhikkhu, saya tidak dapat mempertahankan hidup kebhikkhuan!” Segera ia mengambil jubah kuningnya, ia lari keluar rumah, sedang berlari ia mengikatkan jubah pada perutnya.
Ketika itu, ibu mertuanya tinggal di rumah yang sama. Saat ia melihat dia pergi dengan sikap seperti itu, ia berkata pada dirinya: “Pembelot ini, yang baru saja kembali dari kebun, sekarang melarikan diri dari rumah, selagi berlari ia mengikatkan jubah kuning pada dirinya, ke vihara. Ada apa?”
Ia masuk ke rumah dan melihat putrinya tertidur, ia segera mengetahui, “Karena melihat ia tertidur maka dia menjadi muak dan pergi. Maka ia membangunkan anaknya dan berkata kepadanya:
“Bangun, konyol. Suamimu melihat engkau tertidur, menjadi muak dan pergi. Kau tidak akan memiliki dia lagi karena suamimu telah pergi.”
“Pergilah, bu. Apa masalahnya, dia pergi atau tidak? Ia akan kembali dalam beberapa hari.”
Selagi Cittahattha berjalan, ia mengulang-ulangi kata-kata: “Segala sesuatu di dunia ini tidak kekal dan diliputi penderitaan,” ia menjadi Sotapanna.
Kemudian melanjutkan perjalanannya, menemui para bhikkhu, menghormat mereka, dan memohon untuk diterima dalam sangha.
“Tidak”, kata para bhikkhu, “kami tidak dapat menerima anda ke dalam sangha. Untuk apa anda menjadi bhikkhu? Kepalamu seperti batu pengasa.”
“Para bhante, terima saya ke dalam sangha untuk sekali ini.”
Karena ia telah membantu mereka, maka mereka menerimanya ke dalam sangha. Setelah beberapa hari kemudian, ia mencapai ke-arahat-an serta memiliki kemampuan batin.
Kemudian para bhikkhu berkata kepadanya:
“Avuso Cittahattha, tidak diragukan anda sendiri yang akan memutuskan kapan anda akan lepas jubah lagi; karena kali ini anda sudah agak lama di sini.”
“Para bhikkhu, ketika saya terbelenggu pada dunia, saya pergi; namun sekarang saya telah bebas dari belenggu dunia; saya tidak memiliki keinginan untuk pergi.”
Para bhikkhu pergi menemui guru dan berkata:
“Bhante, kami mengatakan hal ini dan itu kepada bhikkhu ini, dan ia mengatakan ini dan itu sebagai jawabannya. Ia berkata bohong, mengatakan yang tidak benar.”
Guru menjawab:
“Ya, para bhikkhu, ketika pikiran putraku tidak tetap, ketika ia tidak mengetahui Dhamma, maka ia pergi. Tetapi sekarang ia telah meninggalkan yang baik dan buruk.”
Setelah berkata itu, Beliau mengucapkan syair berikut:


38. “Orang yang pikirannya tidak teguh,
tidak mengenal ajaran benar,
serta memiliki keyakinan goyah;
maka orang seperti itu tidak akan sempurna kebijaksanaannya.”



39. “Orang yang pikirannya tidak dikuasai oleh nafsu dan kebencian,
Telah mengatasi keadaan baik dan buruk;
Maka orang yang selalu sadar seperti itu tidak ada lagi ketakutan.”

Pada suatu hari para bhikkhu berdiskusi:
“Saudara-saudara, sungguh jahat nafsu-nafsu kita. Sangat mulia pemuda seperti ini yang ditakdirkan mencapai ke-arahat-an, diayun-ayun oleh nafsu, menjadi bhikkhu tujuh kali dan tujuh kali kembali sebagai umat awam.”
Guru mendengar mereka membicarakan hal ini, pergi pada saat yang tepat, masuk ke Dhammasala, dan duduk pada Tempat Duduk Buddha, lalu bertanya kepada mereka :
“Para bhikkhu, apa yang anda sekalian perbincangkan dengan duduk di sini?”
Ketika mereka memberitahukannya, Guru berkata:
“Para bhikkhu, tepat sekali. Sungguh jahat nafsu-nafsu itu. Jika nafsu-nafsu itu dapat berbentuk materi, maka mereka dapat di tempatkan pada tempat tertentu, Dunia akan terlalu keras untuk mereka dan alam surga, brahma terlalu rendah untuk mereka. Tidak ada tempat bagi mereka di mana pun. Mereka mengganggu saya yang memiliki kebijaksanaan dan sebagai makhluk ariya. Siapa yang dapat menguraikan gangguan mereka kepada orang lain? Karena saya pun pada kehidupan yang lampau, sebab gara-gara setengah mangkuk kecil bibit kacang dan sebuak sekop tumpul, menjadi bhikkhu 6 kali dan kembali ke dunia 6 kali.”
“Bhante, kapan hal ini terjadi?”
“Para bhikkhu, apakah anda sekalian ingin mendengarkannya?”
“Ya, bhante.”
“Baiklah, dengarkan.”
Setelah berkata seperti itu, Guru bercerita sebagai berikut:

CERITA YANG LAMPAU:
KUDDALA DAN SEKOPNYA.

Pada suatu waktu, ketika Raja Brahmadatta berkuasa di Baranasi, di Baranasi ada seorang bijak bernama Kuddala (Petapa Sekop). Ia menjadi petapa kelompok bida’ah dan tinggal selama 8 bulan di pedalaman Himalaya. Pada suatu malam di musim vassa (hujan), ketika tanah basah, ia berpikir: “Saya memiliki setengah mangkuk kecil bibit kacang dan sebuah sekop tumpul di rumah, bibit kacang saya tak boleh di sia-siakan.”
Maka ia kembali pada kehidupan duniawi, ia mengerjakan sebidang kecil tanah dengan sekopnya, menanam bibit dan memagari sekelilingnya. Ketika kacang telah matang, ia menuainya, dan menyisakan semangkuk kecil kacang sebagai bibit, yang lain untuk di makan. Kemudian ia berpikir: “Mengapa saya hidup sebagai orang biasa lebih lama lagi? Saya akan tinggal di pedalaman Himalaya selama 8 bulan sebagai petapa.” Lalu ia meninggalkan rumah dan menjadi petapa lagi. Dengan cara seperti ini, semua gara-gara semangkok kecil bibit kacang dan sekop tumpul, ia menjadi petapa 7 kali dan 7 kali kembali pada kehidupan duniawi.
Pada ke 7 kali ia berpikir: “Tujuh kali saya kembali pada kehidupan duniawi setelah menjadi petapa, semua ini terjadi karena sekop tumpul. Saya akan melemparkannya ke suatu tempat.” Maka ia pergi ke tepi sungai Gangga, membawa semangkok kecil bibit kacang dan sekop tumpul.
Ketika ia berdiri di tepi sungai Gangga, ia berpikir: “Bilamana saya melihat tempat benda-benda ini jatuh, maka saya akan tergoda untuk turun ke sungai dan mencari benda-benda itu. Kalau begitu saya akan melempar benda-benda ini dengan cara saya tidak akan melihat di mana benda-benda ini jatuh.”
Demikianlah ia membungkus semangkok kecil bibit dengan kain, mengikatnya pada tangkai pegangan sekop, memenggang ujung pegangan sekop. Dengan berdiri di tepi sungai Gangga, ia menutup mata, memutarkan sekop tiga kali di atas kepalanya, dan me-lemparkannya ke sungai Gangga. Dengan posisi wajahnya tak mengarah di mana sekop itu jatuh, ia berteriak dengan suara keras tiga kali:
“Saya menaklukkan! Saya menaklukkan! Saya menaklukkan!”
Pada saat itu, Raja Baranasi, yang baru kembali dari mengamankan suatu daerah dan sedang beristirahat di tepi sungai Gangga, juga sedang mandi di sungai, mendengar teriakkan itu. Pada saat itu, ungkapan “Saya menaklukkan,” merupakan teriakan yang tidak disukai didengar oleh raja. Maka raja Baranasi pergi menemui Kuddala dan berkata:
“Saya baru mengalahkan dan menundukkan musuhku ke kakiku dan pulang dengan pikiran, ‘Saya menaklukkan!’ Tetapi anda baru saja berteriak: “Saya menaklukkan! Saya menaklukkan!’ Apa yang anda maksudkan dengan hal ini?”
Kuddala menjawab:
“Raja telah menaklukkan penjahat yang ada di luar diri. Kemenangan yang raja peroleh harus di menangkan lagi. Sedangkan saya menaklukkan musuh yang ada di dalam diri, penjahat nafsu. Ia akan tidak pernah mengalahkanku lagi. Kemenangan atasnya merupakan kemenangan sesungguhnya.”
Setelah berkta seperti itu, ia mengucapkan syair berikut:

“Kemenangan yang harus dimenangkan lagi adalah bukan kemenangan sesungguhnya. Kemenangan yang merupakan kemenangan sesungguhnya tidak perlu dimenangkan lagi.”

Pada saat itu, dengan melihat sungai Gangga dan bermeditasi berobyekkan unsur air, Kuddala mencapai pencapaian khusus, berdasarkan kemampuan itu ia terangkat di atas tanah dan duduk bersila di angkasa. Raja setelah mendengar babaran dharma dari Bodhisatva, memberikan hormat padanya, dan memohon padanya agar ia di terima sebagai petapa, dan ia menjadi petapa bersama semua pasukannya; pengikutnya sebanyak dan seluas satu yojana (8 kilometer).
Raja lain yang merupakan tetangganya, mendengar bahwa ia telah menjadi petapa, berpikir: “Saya akan menguasai kerajaannya,” dan pergi ke sana untuk melakukan keinginannya. Tetapi ketika ia melihat kota yang makmur itu kosong, ia berpikir: “Seorang raja yang meninggalkan kerajaan yang indah untuk menjadi petapa tentu saja ia mejadi petapa bukan karena untuk merintanginya. Saya juga harus menjadi petapa.”
Begitulah, ia pergi menemui Bodhisatva, meng-hormatnya, memohon kepadanya untuk menerimanya sebagai petapa, ia menjadi petapa bersama pasukannya. Dengan cara yang sama, tujuh raja menjadi petapa, meningalkan harta duniawi mereka, pertapaan mereka seluas 7 yojana. Setelah memenangkan semua kelompok ini, Bodhisatva hidup dalam kehidupan spiritual dan setelah meningal, terlahir kembali di alam Brahma.
Demikianlah cerita masa yang lampau.
---
Ketika Guru menyelesaikan cerita ini, beliau berkata:
“Para bhikkhu, pada waktu itu saya adalah Kuddala. Belajar dari cerita ini kita menyadari betapa jahat nafsu itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar